Darah Untuk Tanahku

17 1 0
                                    

Kegaduhan tadi malam hanya menyisakan butir-butir debu. Jalanan masih lengang. Lampu-lampu rumah juga tak bersinar seperti biasanya.

Aku menyibakkan tirai kamar. Menyapu pandanganku ke seluruh penjuru.

Oh tidak! Apa yang terjadi dengan kotaku? Sebelum tidur aku masih sempat memandang gedung tua di depan rumah. Tapi ke mana perginya gedung itu? Yang terlihat sekarang hanya hamparan tanah kosong dengan bongkahan-bongkahan reruntuhan.

"Aaaaaaa!" suara teriakkan menggema hingga ke kamarku.

Aku beranjak dari ranjang, berlari keluar. Gumpalan asap kembali memenuhi langit. Sesekali suara ledakkan memecah keheningan di ujung jalan. Pikiranku semakin kalut tatkala ingat bahwa abah dan Aleena belum pulang. Ibu terlihat sangat gusar. Beberapa kali ia mondar-mandir di depan pintu.

"Bu ... Arif akan cari abah dan Aleena," tukasku seraya menatap ibu sekilas.

"Tidak, Nak. Tetap di sini bersama ibu," ibu menarik tanganku.

"Tapi ...." ibu menggeleng, kemudian membuang muka ke arah lain. Aku tahu ibu menangis.

Tuhan ... aku tak meminta banyak. Aku hanya ingin abah dan Aleena kembali. Tidak mengapa jika abah pulang tanpa membawa mainan. Aku juga tidak menginginkan sepatu baru seperti yang abah janjikan.

Beberapa menit bergelut dengan ketegangan. Tiba-tiba pintu terbuka pelan. Jantungku seperti akan loncat keluar. Berharap yang datang adalah dua orang yang kami tunggu-tunggu.

"Sharif! Itu di sana," ucap laki-laki paruh baya sambil menunjuk ke arah jalan.

Samar, kulihat abah menggendong Aleena. Penampilannya sangat berantakkan. Bahkan dapat kulihat darah segar mengucur dari kepalanya.

Abah terisak. Mencoba berjalan secepat mungkin sambil mengeratkan Aleena dalam dekapannya. Aku berlari sekuat tenaga menuju mereka.

"Abah ... abah ...." kupanggil sekencang yang kubisa.

Aku menangis sejadi-jadinya saat abah terjatuh di antara reruntuhan. Ia tak sanggup lagi berjalan. Kakinya terluka parah. Namun matanya masih memandangku dengan hangat.

"Abah ... Arif sayang Abah," kataku sambil mengelus pipinya.

Abah tersenyum. Mencoba menyembunyikan rasa sakit. Tapi raut wajahnya tak bisa berbohong. Tanpa berpikir panjang, aku membuka baju. Merobek dan membalut kakinya.

"Aleena," bisik abah.

Aku memandang Aleena. Mata indahnya terkatup. Bibir mungilnya pucat. Aleena terkulai lemah. Tidak! Jangan Aleena! Aku saja menggantikannya, Tuhan.

Tiba-tiba saja semua terasa sangat asing. Bahkan ibu yang kukenal sebagai wanita paling kuat di dunia ini, ikut runtuh. Ia membawa Aleena ke dalam pelukkannya. Ibu menangis dalam diam.

Sungguh. Aku tak pernah iri dengan anak-anak yang bermain dengan bebas di tanah mereka sendiri. Tapi hari ini aku hancur. Hanya janji yang bisa kuberikan pada adikku itu. Namun tak pernah kutepati.

Aku ingat Aleena ingin sekali melihat bintang. Sayang langit malam tak pernah cerah. Hingga akhir, tak pernah ada bintang yang memamerkan keelokkannya untuk Aleena.

***

Dua tahun berlalu semenjak Aleena pergi, yang disusul abah empat bulan kemudian.

Debu telah memenuhi sudut kota. Semakin sesak dan brutal saja dalam sebulan terakhir.

Aku dan beberapa teman sebaya, sejak pagi duduk di emperan pagar besi. Tak jauh dari sana, berdiri salah satu sekolah tertua di kota ini. Hanya ada satu gedung yang terdiri dari empat kelas.

Darah Untuk TanahkuWhere stories live. Discover now