Hati Jimin lega tidak kepalang saat dua satpam berlari menghampiri mereka tepat disaat mereka nyaris berkelahi tadi.
Mungkin teriakan ‘bangsat’ Taehyung menggema di seluruh penjuru, dan kegaduhan hasil pertikaian kecil mereka menarik perhatian sang satpam.
Mereka berdua melerai.
Sekarang sosok tinggi tadi sudah berjalan beberapa langkah lebih dulu di depannya, sementara kaki-kaki Jimin mengekori langkahnya yang tegap. Dia amati lekat-lekat tubuh belakang Taehyung dengan siratan rindu dan kagum.
Taehyung tumbuh tinggi menjulang, tinggi Jimin saja hanya mencapai daerah telinga laki-laki itu. Dan tangannya ekstra besar.
Pundak Jimin masih merasa tersengat karena cengkraman kuat Taehyung yang sampai menancapkan kuku-kukunya di situ.
Jimin iri, jujur saja. Padahal sudah minum susu berkalsium tinggi, minum pil-pil untuk membentuk otot perut, diet untuk mengidealkan badan, tapi berat badannya malah merosot turun sampai mampus.
Ia ingat sekali penderitaannya beberapa bulan lalu, sakit parah karena eating disorder yang menjadikan lambungnya menolak apapun yang dimasukkan melalui kerongkongannya.
Helm melayang ke arahnya. Reflek Jimin mundur beberapa langkah dan dan tangannya menangkup benda bulat putih yang dilemparkan Taehyung.
Jimin masih mematung dengan pandangan kosong ke langit hitam pekat—karena memang sudah pukul tujuh lebih—sampai suara deruman mesin motor mengusik gendang telinganya, membawanya keluar dari alam bawah sadar.
Sahabatnya sudah duduk siap di jok motor dengan lengan menjulur mencengkram setir.
Kepala yang dibalut helm hitam itu meneleng ke samping dengan netra yang tidak meninggalkan wajah Jimin.
Yang lebih pendek menyadari kode ‘naik’ yang diberikan dan buru-buru menelusupkan kepalanya dalam helm putih milik kakak sepupunya.
Begitu Jimin duduk di belakang Taehyung, satu tarikan gas nyaris menjungkalkan tubuh Jimin ke belakang dan motor itu sudah melesat cepat meninggalkan area sekolah.
Untung Taehyung tidak mengebut seperti Hoseok yang kalau naik motor jalannya ugal-ugalan. Senggol kanan, senggol kiri, selip sana, selip sini. Taehyung lebih disiplin dan berhati-hati.
Satu poin yang bagus.
Taehyung pasti belajar naik motor di Bangkok sana. Walau Jimin yakin benar pemuda yang menyetir ini belum punya SIM.
Taehyung mengerem tiba-tiba. Sesuai hukum kelembaman, tentu saja tubuh dua anak adam itu terdorong ke depan dan Jimin mengaduh tanpa suara saat pusing menyerang keningnya karena helm mereka bertubrukan keras.
Jimin menarik kembali pujian ‘disiplin’ dan ‘hati-hati’ itu.
Jimin tetap saja Jimin. Apa saja situasinya, kalau kesal langsung nyosor protes.
“Hei, kenapa ngerem—
—razia?“
Kata-katanya lenyap oleh suguhan pemandangan di depannya. Lima polisi berbadan besar dengan seragam lengkap dan lighstick besar merah—lampu lalin—berkedip-kedip manghalangi jalan.
Dari pantulan kaca spion, ekor mata Jimin menangkap rentetan motor lain yang ikut berhenti tergesa-gesa di belakangnya.
Taehyung mendecak, membanting haluan kanan tanpa aba-aba dan menarik gas kencang menyusuri jalan yang tadi ia lewati dalam perjalanan ke sekolah Jimin
Entah kesialan apa lagi yang menimpanya hari itu, Jimin sibuk menyumpahi dalam hati merasa jantungnya meledak tadi.
Jimin menoleh ke belakang dengan tangan masih setia bertengger di sepasang pundak lebar itu. Dia mencoba mengawasi keadaan, tetapi poninya mendayu-dayu masuk ke mata.

KAMU SEDANG MEMBACA
SKINNY AF; vmin
Fanfiction[ON GOING] Taehyung tidak masalah dengan perubahan Jimin, tetapi ada satu yang dia benci. 180703