Basis Aruna, Manhattan, Agustus 2006
Aku mati.
Atau sebentar lagi mungkin aku akan mati.
"Yureka." Suara aruna itu berubah ganda. Nada bicaranya mendadak merdu dan tegas di saat yang sama. Nada yang mustahil dibantah.
Tubuhku mendadak kaku. Napasku tertahan. Seluruh sel di tubuhku siap menunggu perintah. Siap menjadi boneka yang akhirnya hanya bisa bertekuk lutut di kakinya.
Tapi pikiranku tidak mau menyerah.
Jadi alih-alih menunduk dan mengakui kesalahan seperti yang mungkin ia dan bajingan itu mau, aku mendongakkan kepala. Menghadap wajah murkanya terang-terangan. Tanpa memasang wajah takut atau menyesal sama sekali.
"Apa?" tantangku.
Ya, memangnya aku salah apa? Aku tidak merasa melakukan sesuatu yang salah. Semua yang kulakukan sampai detik ini benar. Dialah yang salah. Dialah yang seenaknya abai. Dia yang dengan egoisnya menganggap jika sekelilingnya damai, dunia di luar pun sama damainya. Dia yang tolol di sini.
Mata merah yang mendelikku sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda akan mundur. Sorot matanya masih sama: murka. Setiap gurat wajahnya, setiap sikap tubuhnya, dan setiap huruf yang didesiskan lidahnya mendukung hal itu.
Bunyi aktivitas di jantung kota Manhattan di bawah terdengar dari balik jendela yang tidak tertutup tirai, terdengar sangat kencang di tengah kesunyian yang mengurung kami berdua. Langit malam mulai berangsur-angsur hilang seiring fajar yang menjelang, tapi kami berdua masih terjebak di ruang di lantai empat belas salah satu gedung pencakar langit di kota metropolitan ini.
"Lo bener-bener butuh waktu buat belajar ya?" ejekku. "Lo tau kalau mau memerintah seorang Budak, lo harus kasih perintah yang jelas dan nggak cuma manggil nama kan ... Gilang?"
"Aku tahu." Aruna itu menyahut dengan enteng.
Aku mengedikkan bahu, seraya duduk seenaknya di tepian meja tak bertuan di belakang.
"Dan lo nggak memanfaatkan itu dengan baik." Aku mendengkus, lalu mengeluarkan sebilah pisau lipat dari balik saku mantel. "Lucu, gimana kalau seandainya gue tadi manfaatin kesempatan dengan langsung pancung kepala lo di sini? Lo pasti udah mati konyol."
"Dan kamu pun akan mati konyol."
"Gue nggak pernah takut mati." Aku mengedikkan bahu. "Lagian udah ada harga buat kepala gue, kan? Rileks, gue mati mungkin malah bagus buat elo, Yang Mulia."
Angin kencang tiba-tiba berembus tepat ke depan wajahku. Aruna yang tadi berdiri enam meter jauhnya, seketika kini berada di depan wajahku. Tangannya mengepung tubuhku di kedua sisi.
Pisau lipat hematit siaga di tanganku, tapi aruna sialan satu itu bahkan tidak repot-repot mengunci celah pergerakan di antara kami. Kesal karena merasa diremehkan, tanganku berayun menyerangnya diam-diam, namun tangan Gilang dengan cepat menangkap pergelangan tanganku, menempelkannya ke pinggiran meja.
"Oh, kau harus berusaha lebih keras dari ini untuk menahan saya, Yang Mulia." Aku bicara dalam bahasa Inggris logat Amerika yang kaku. "Atau saya tidak akan menyerah mencoba menghantamkan pisau ini ke tenggorokan Anda."
"Kamu bebas mencoba menikamku sekarang," balasnya tajam. "Dan lihat siapa yang akan mati di tangan siapa."
"Kesombongan lo bakal dibayar mati nanti, Aruna." Kesabaranku benar-benar habis.
Terdengar suara retakan di samping kanan. Dari ekor mata, aku melihat tepian meja yang digenggam tangan kiri Gilang retak dan hancur jadi serpihan kayu kecil yang lolos lewat celah jari jemarinya.
"Kebetulan sekali, kesabaranku memang sudah lama habis."
Di hadapanku Gilang mencondongkan tubuh, menutup jarak di antara kami perlahan-lahan. Aku menantangnya dalam diam, tak memalingkan muka walau embusan napasnya sudah mendinginkan wajahku. Mata merahnya menyala semakin terang. Amarah dalam dirinya kian menggebu di setiap detak jantung. Napasnya berubah menjadi geraman dan setiap kata yang keluar dari bibirnya keluar bagai desisan ular.
Detik berikutnya Gilang bertanya, aruna itu menampakkan taringnya ke hadapanku. Sebuah simbol tantangan.
"Menyusup di Manhattan tanpa izinku, menjadi Inkuisitor tanpa izinku, dan pergi menantang Dewan Kehormatan Manhattan tanpa izinku. Ada selusin pelanggaran yang kau langgar hari ini, tapi aku akan mulai dari yang paling mudah." Gilang menekankan setiap kata. Bersamaan dengan itu, retakan kembali terdengar dan serpihan kayu kembali jatuh ke sepatuku. "Kenapa. Kamu ada. Di Manhattan ... Yureka Caiden?"
***
YOU ARE READING
Blood and Oath
Vampire[SPIN OFF ARUNA SERIES] Menjadi budak Aruna tidak mudah, percayalah, aku mengalaminya sendiri. Tidak hanya harus hidup di bawah bayang-bayang perintah mutlak, aku harus tinggal di rumah di pegunungan terpencil, bergaul dengan manusia...