Prolog

114 21 7
                                    


Detik ini, pemuda berparas rupawan dengan hidung mancung serta bibir tipis merah muda itu masih setia menautkan jemari kokohnya di antara milikku, menarik serta tubuh mungilku untuk mengikuti langkahnya yang tampak antusias. Ingin menunjukkan sesuatu yang menarik padaku, katanya tadi ketika membangunkanku pagi-pagi sekali. Tak bisa kutolak tentu saja, selain karena tak ingin mengecewakan orang yang hampir 2 bulan ini menampungku tanpa harap imbalan, entah mengapa kedua netra bulat lucu yang menyimpan manik coklat karamel itu mampu menghipnotisku untuk selalu tenggelam ke dalamnya.

Belum lama melangkah, kerumunan masyarakat pada satu titik yang tak begitu jauh dari posisi kami mendadak mengalihkan perhatianku. Usai kutanyakan apa yang sebenarnya terjadi, ia menjawab bahwa hal menarik yang dimaksudkannya ada di antara mereka. Lantas tangannya kembali menarikku, dan dengan sedikit usaha membimbingku menuju bagian terdepan kerumunan.

Deg!

Sama sekali tidak menarik.

"Pagi ini finalnya eksekusi," terangnya disertai isyarat dagu menunjuk sosok pemuda kurus berpeci hitam yang mengenakan sarung motif kotak-kotak tanpa busana atas yang membuatku seketika terpaku akan tubuhnya yang disalib di hadapan banyak orang. "Dia mengebom 2 gereja, 5 wihara, sama 2 kuil bulan lalu. Baru ditangkep kemaren lusa."

"T-teroris," gumamku lirih tanpa sadar, namun rupanya tak luput dari pendengaran pemuda yang masih menggenggam tanganku itu. Lantas anggukan mantap pun ia berikan sebagai tanggapan sebelum berujar, "Para musl*m emang bang*at."

Mendadak mataku memanas hingga tanpa terasa telah basah, keringat dingin mulai bercucuran dari pori-poriku seiring perasaan gugup sekaligus takut di antara tubuhku yang sedikit bergetar. Kelopak mataku pun terpejam erat di menit berikutnya ketika genangan air di dalamnya mulai tumpah tanpa permisi, lantas kutundukkan kepalaku sedalam mungkin berharap pemuda di sampingku itu tak menyadari keadaan ini. Tapi terlambat, "Lo kenapa?"

Aku memilih diam karena bingung harus menjawab apa.

Kurasakan sebelah tangannya yang menganggur ikut menggenggam telapak tanganku yang sudah kelewat basah, "Tangan lo dingin banget. Hei, kenapa nangis?" Ia membuat kami saling berhadapan dan berusaha menyamakan posisi wajah untuk lebih mudah memastikan, lalu menggunakan telunjuk dan jempol tangan kanannya untuk menarik ujung daguku begitu lembut agar sedikit mendongak, "Pusing lagi?" tebaknya usai mendapati mataku perlahan terbuka. Kekhawatiran tersurat jelas pada parasnya yang entah sejak kapan begitu dekat.

Aku mengangguk sebagai jawaban setelah sebelumnya mengalihkan pandangan darinya yang menatapku terlalu intens. Mengingat kondisiku yang belum pulih sepenuhnya dari insiden yang lalu, menurutku pusing termasuk alasan yang cukup masuk akal.

Maaf atas kebohongan ini.

Pelukan secara tiba-tiba namun tak menuntut dari pemuda itu membuatku sedikit tersentak. Ini pertama kalinya dalam hidupku berpelukan dengan lawan jenis selain papa dan saudara laki-lakiku. "Tahan sebentar lagi, kita pulang setelah ini selesai," putusnya seraya menyandarkan kepalaku pada dada bidangnya. Dan aku hanya menurut, dengan kedua tangan yang kutempatkan di depan dada sebagai pembatas. Lantas atensinya kembali teralihkan pada tontonan di antara kerumunan usai mendengar ramai hentakan kaki teratur mendekat. Barisan para tentara, tebakku.

Tak ingin menyaksikan apa yang terjadi kemudian nanti membuatku semakin menyembunyikan kepalaku di antara pelukannya. Aku terlalu takut.

Setelah sejenak berhening ria, salah seorang di antara barisan tentara mengawali pidatonya. Melalui suara berat yang terdengar begitu lantang itu sedikit banyak aku mengetahui bagaimana proses eksekusi mati si pria berpeci yang rupanya sudah lewat 2 hari. Dicambuk di atas roda kayu besar yang berputar agar bersedia membocorkan informasi mengenai komplotannya. Dipaksa menelan minyak panas. Dijemur dalam keadaan disalib. Sadis di mataku. Tapi mereka justru menganggap hal ini sebagai proses penyucian agar si pendosa diampuni.

Mendadak lamunanku buyar ketika si pemidato menyerukan aba-aba untuk bersiap menembak, dan tanpa sadar membuat kedua tanganku meremas kuat kaos bagian depan pemuda yang masih setia memelukku. Berusaha setegar mungkin menghadapi kenyataan buruk yang terpampang di sana.

Dor! Dor! Dor!...

Kelopak mataku sontak memejam erat. Bukan hanya sekali dua kali, tapi tembakan itu dilesatkan tanpa ragu puluhan kali. Remasan tanganku kian mengerat seraya dalam benak berusaha mengenyahkan banyangan kemungkinan rupa sosok si pria berpeci akibat tembakan. Mengerikan.

Riuh tepuk tangan dan sorai sorakan menandakan eksekusi itu berakhir. Kurasakan pelukan pada tubuhku melonggar namun tak sampai terlepas, dan tatapan pemuda itu kembali menyamakan diri dengan milikku yang telah terbuka menghadapnya. "Ayo pulang."

Sebelum benar-benar menjawab ajakannya, kusempatkan diri menoleh pada apa yang kuhindari sejak tadi. Dan keadaan di sana yang tak meleset dari tebakan membuat kelopak mataku kembali terpejam erat. Terlalu menyesakkan.

Haruskah aku terus berbohong dan menyembunyikan diri?

Jujur saja, aku takut mati.

DINGINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang