Tre

20 11 3
                                    

Kami semua pun keluar dari ruangan hitam pekat itu. Kami dorong kuat-kuat pintu itu dan mulai berlari kencang menjauh sejauh munghindari pria itu.

Aku masih berlari terbirit birit di lorong sekolah itu. Langkah kakiku terasa begitu berat. Aku mencoba mengejar Erik yang jauh lebih cepat didepanku.

Aku sebentar menengok kebelakang dan pria itu masih mengejar kami dengan pisau besarnya. Aku begitu ketakutan. Keringat mengalir deras dari tubuhku.

Tubuhku serasa berkata padaku "berhenti dan kau akan mati ditangannya!". Aku jadi merasa menyesali keputusanku untuk ikut dengan Kevin.

"Ini terlalu berbahaya, untuk kita yang cuman anak kecil! Kita sudah tau bahwa ada pembunuh gila disini dan itu sudah cukup! Kita bisa laporkan itu pada polisi!" Seruku pada Kevin dengan nafas terengah engah.

"Tidakk!! Para polisi itu tak bisa mengatasi kasus ini. Kita masih bisa memecahkan kasus ini, yang perlu kita lakukan sekarang hanyalah lari menjauh dari pria gila itu!" Aku mencoba menurut dengan perkataan Kevin. Dia pastinya tahu apa yang terbaik dari semua ini.

Kevin pun tiba-tiba mengubah arah larinya berbelok ke kanan. Kami semua pun ikut juga lalu mencoba bersembunyi di sebuah ruangan disana.

Ada banyak pintu disana. Dan kami memutuskan untuk masuk kedalam pintu berwarna biru. Ruangannya sesak pengap. Kevin menyuruh kami untuk menahan nafas agar tak membuat suara. Pintu itu memiliki jendela kecil.

Kulihat samar-samar lampu lorong masih berkedip kedip. Lalu kulihat pria hitam itu berjalan melewati pintu biru yang kami masuki.

Makin kutahan nafasku dalam-dalam. Aku melihat samar-samar pria itu berdiri di pintu kami bersembunyi. Dia memakai semacam jubah hitam robek-robek dan topeng gas di wajahnya.

Begitu mengerikan, jantungku berdegup kencang. Kalo pria itu sampai mengetahui dimana kami bersembunyi maka matilah kami. Aku benar-benar ketakutan.

Tapi tiba-tiba pria itu berjalan menjauh dari pintu kami. Lampu masih berkedip kedip diluar. Kami menunggu selama sekitar 5 menit lebih untuk memastikan bahwa dia tidak ada. Setelah kami yakin bahwa dia tidak ada, kamipun segera keluar dari ruangan itu.

"Ini gila Kevin! Ayo kita segera keluar dari sini!" Seruku mencoba membujuknya.

"Tidak! Sebelum kita menemukan sesuatu yang bisa menuntut pembunuh gila itu."

"Katakan saja pada polisi ada pembunuh disini dan mereka akan mengatasinya."

"I-iyaa Kevin...." setelah sekian lama akhirnya Amy berbicara.

"Tenanglah kalian berdua. Kalian semua terlalu pengecut dan ketakutan. Biarkan Kevin memandu jalan dan akulah yang akan menghadapi pembunuh itu!" Erik berlagak bak seirang superman.

Lampu berkedip. Sesaat ruangan menghitam lalu terang lagi. Dan gelap. Lalu terang. Dan aku melihat pria itu sudah berada dibelakang Erik.

"ERIKKKK!!!!!"

Langsung saja pembunuh itu menghujamkan pisaunya tepat ke leher Erik. Dia menebas nebas leher Erik bak daging cincang. Darah bermuncratan dimana-mana. Kami berjalan mundur perlahan dan lari lagi menjauh dari pembunuh gila itu.

Amy begitu histeris melihat kejadian itu. Air mata mengalir deras dari matanya. Aku melihat kebelakang melihat Erik yang masih dicincang oleh pembunuh itu. Sepertinya kepala Erik sudah terputus dari badannya. Pria itu melihat kearahku dan mengarahkan pisaunya kearahku.

Aku hanya bisa menelan ludah.

Kami terus berlari dan berlari. Kakiku makin terasa berat. Padahal malam tapi rasanya panas sekali. Kami bagai tikus yang terperangkap di perangkap. Tak tahu jalan keluar hanya tahu jalan masuk. Dan parahnya lagi bersama pembunuh gila.

"Kevin, kumohon...." aku memohon

"Apa yang dikatakan Marko benar, kumohon Kevin! Kau tak lihat apa yang telah dia perbuat pada Erik!?!?" Amy begitu histeris. Dia sangat ketakutan.

"Kita bersembunyi di dalam perpustakaan...." Kevin berhenti berjalan.

Kami bertiga sudah cukup jauh dari pembunuh itu dan berdiri tepat di ruang perpustakaan.

INCUBOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang