Luka di Kala Senja

11 0 0
                                    

Prolog

Air mata terus membanjiri pipiku. Setelah lima tahun berlalu aku tak bisa melupakannya. Rasa sakit kembali terasa saat memandang foto berbingkai rapi di dinding kamarku. Foto itu terlihat bahagia, sebab ada aku dgn pria berbadan tinggi, putih, matanya coklat. Tampak ia menggenggam tanganku, sedangkan kepalaku bersandar di bahunya. Dada ini terasa sesak jika aku memutar memori cinta bersamanya. Cinta memang sulit dimengerti. Ia pergi meninggalkan luka yg membekas di hati.

**
Brukk...

Maaf..maaf," kata seorang lelaki bertampang rapi sembari memungut bukuku yg berjatuhan.

"Lain kali hati-hati dong! Udah tau gue telat pake nabrak segala," protesku kesal lalu membersihkan serpihan debu yg menempel di bukuku.

"Sekali lagi saya minta maaf." sahutnya tersenyum sinis lalu pergi
"Dasar lo!"

Postur tubuh yg tinggi itu segera berbalik meninggalkanku dengan menenteng tas hitam serta buku tebal. Aku berlari menuju kelas mahasiswa jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia UNIMED. Dua menit lagi kelas Linguistik umum dari pak Peter akan dimulai. Kalau sampai aku telat bisa jadi aku tdk dibolehin masuk kayak dulu.

"Cia, kok lama? Telat bangun karna nonton film Korea ya semalam?" tanya Felix, sahabatku sejak SMP hingga sekarang.

" apaan sih? Gue lagi bete ajah. Habis tadi malam papa marah-marah mulu karena melihat IPK gue rendah banget. So, sebenernya gue malas masuk kelas hari ini. Tapi mama maksa terpaksa gue nurut.

"Lo sih! Pak Peter bilang mau UAS, gak ada niat belajar. Udah rasa kan gimana? Gara-gara nilai dari pak Peter nilai lu menurun drastis." Felix mengingatkan kebodohanku dulu.

" Ya, harus gimana? Aku tdk memaksa diri, dari dulu aku tdk mau jadi guru. Maunya pemain musik." gumamku dalam hati.

" Hei, mulutnya dikunci dong! Pak Peter mau ke mari."perintah Mija gadis tomboi sekaligus terheboh di kelas. Aku kesal dengannya yang sering mengerjaiku.

Suasana kelas yang riuh dan ramai menjadi hening seketika setelah seorang laki-laki muda masuk dari pintu.

" selamat pagi semua!" sapa suara itu dari depan.

"Pagi pak, " jawab mahasiswa serentak kecuali aku yg tertunduk malu. Why not? Dia adalah laki-laki yg kutabrak sekaligus menerima omelanku.

" halo semua! Saya Patrick, panggil saja pak Erik. Saya akan mengga tikan pak Peter yg sudah pensiun di kelas ini. Ada pertanyaan? Tanyanya basa-basi. Aku baru ingat kalau pak Peter bilang ia akan pensiun.

" saya pak. Sahut Mija mengacungkan telunjuknya.

" silahkan!"

" begini pak, sepertinya Cia mau minta no HP bapak!" sahut Mija tertawa terbahak-bahak memandangiku.

Ia memang brengsek. Hobinya ganggu orang terus. Aku tak berani berkutat sebab pikiranku teringat kejadian tadi pagi. Sungguh kurang ajar.

Terdengar tawa anak-anak serentak sambil memandangku.

"Mau lo apa sih?" protesku kesal sembari memegang pipiku yg memerah.

"Cia, lo kenapa? Ledek balik tuh si Mija," pinta felix kesal juga.
Dengan langkah perlahan pak Erik menghampiri kursiku.

"Cia?? Oh, namamu Cia." katanya sembari mengangguk-anggukkan kepalanya lalu berjalan ke depan kelas lagi. Dia terkesan sombong dan cuek.

" semuanya berhenti bersikap konyol. Kalian mahasiswa semester 7, jgn bertingkah seperti anak-anak lagi. Baiklah kita akan melanjutkan materi dari pak Peter." sahutnya sambil memegang spidol, lalu menulis di papan.

"Hmmm..lebay kali. Sok dewasa aja. Ia juga masih muda, tidak jauh beda dari kami. Hanya beda antara dosen dan mahasiswa." batinku.

Selama mengajar ia tampak serius dan mengabaikan gadis-gadis di sampingku yg tersenyum kagum memandangnya. Si jenius itu sepertinya disukai banyak gadis di kelas. Lalu ia meninggalkan kelas.

"Guis, almet pak Erik ketinggalan. Siapa yg mau kasih nih," seru Gladis sambil menyodorkan almet itu pada anak-anak yang lain.

"Cia..Cia..Cia..!" usul Mija. Lagi-lagi ia tidak bosan mengerjaiku.

"Apaan sih lu? Dari tadi kurang ajar. Lu yg anter sana!" elakku marah.

Sayangnya seisi kelas malah riuh menyuruhku mengembalikannya. Dengan kesal dan berat hati aku berjalan keluar. Terlihat pak Erik sedang berjalan menuju kantin.

"Pak..pak..pak Erik!" teriakku berlari. Namun ia tak mendengar. Ini dosen pura-pura tuli atau memang tuli sih?" batinku kesal.

Tiba-tiba saja...

Bukkk..aku terpeleset di lantai.

"Hei, Cia. Kamu tidak apa2?" pak Erik berusaha membersihkan debu yg menempel di bajuku.

" aduh, ti..tidak apa-apa pak.?" jawabku gugup sambil berdiri. "Aku mau kasih ini!" kataku mengembalikan jas hitamnya.

"O iya, saya kelupaan
Terima kasih yah." balasnya tersenyum manis. " ya, ampun hanya melihat senyumanya sudah membuat jantungku berdebar gak karuan.

" p..pak..saya minta maaf atas sikap saya yg tdk sopan tadi pagi. Saya pikir bapak bukan dosen tapi mahasiswa. Eh, sekali lagi maaf ya pak?"

"Hmm, sudahlah. Lupakan saja. Saya sudah sering mendapat kejadian seperti itu. Tapi baru kamu yg minta maaf. Santai saja. Saya pergi dulu ya" jawabnya tersenyum lalu meninggalkanku.

" habis bapak terlalu muda sih jadi dosen." batinku dalam hati.

Sejak saat itu aku penasaran dgn Pak Erik dan menggali informasi sebanyak-banyaknya tentangnya. Ternyata si jenius itu lulusan termuda dari UGM kelahiran 1992. Pantesan aja, usianya masih 26 tahun sudah menjadi dosen. Untunglah ia lebih tua empat tahun dariku. Hehe

Tidak terasa, sudah tiga bulan ia mengajar. Tak dapat kupingkiri kalau aku merasa nyaman di dekatnya apalagi dia adalah dosen pembimbingku. Hampir setiap hari aku bertemu dan menanyakan tugas padanya.

Bagaimana mungkin benih cinta ini tidak muncul. Tapi aku tak tahu bagaimana perasaannya. Ia membantuku menyukai jurusanku dan mengembangkan hobi bermain musik. Satu hal lagi, ia membuatku takut kehilangannya.

"Cia, judul ini perlu diganti. Nanti tanyakan sama saya lagi." katanya sembari memegang lembaran kertS skripsiku.

" iya, Pak. Nanti kuganti lagi." jawabku dgn nada memelas. Aku memang sudah merasa lelah dgn semua ini. Untungnya ia sabar mengajariku.

"Cia,kita makan dulu yuk!" ajaknya sembari menarik tanganku ke arah sebuah kafe . perasaan gugup dan senang bercampur aduk di dadaku.

" tetap semangat ya, kamu pastj bisa menyelesaikannya." nasihatnya sambil mengaduk jus dengan sedotan di tangannya.

" makasih selalu sabar mengajariku pak." jawabku lalu menyeruput jus orange di depanku.

"Panggil Erik aja kalau di luar. Rasanya terlalu kaku dan terkesan tua jika kamu panggil bapak terus.

" iya, E..Erik."

"Ada sesuatu buatmu. Tapi dibuka kalau sudah pulang ya," katanya tersenyum lalu menyodorkan kotak berwarna coklat ke arahku.

" ini apa? Kenapa?"

"Cia, aku paati merindukanmu. Kau gadis yg baik. Terima kasih telah membuatku lebih lega dan takut kehilanganmu." katanya dengan nada serius memegang tanganku.

"Ma..maksudmu?" tanyaku penasaran. Apa artinya ia menyukaiku? Ia tidak ngomong hanya senyuman dan kecupan hangat melintas di dahiku.

Setibanya di rumah, buru-buru kubuka kotak itu. Berisi sebuah boneka dan sepucuk surat di selipkan di dalamnya. Perlahan air mata ini menetes. Inikah maksud kecupan tadi? Ia sudah berangkat ke Singapura setelah dr kafe untuk menemui gadis yg dijidohkan orang tuanya. Aku menangis memeluk boneka itu. Ia mampir di hatiku hanya meninggalkan luka di kala senja.

*the end**
Terima kasih udah mampir..
Aku mengasihimu
Tuhan berkati ya

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 04, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Luka di Kala SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang