Memandang sawah yang penuh dengan lahan hijau berpetak-petak yang ditumbuhi padi, jagung, kacang tanah, kacang panjang, dan tumbuhan pala wija lainnya memang menyenangkan. Apalagi bermain laying-layang di atas gundukan tanah yang dibuat untuk jalan lewat seperti masa kecil dulu saaat bulan Ramadhan. Rasanya ingin meminjam mesin waktu milik Doraemon. Tapi Doraemon hanyalah karakter fiksi yang dibuat untuk tetap memiliki harapan. Ah! Aku membenci kenyataan itu. Bila memang mesin waktu tidak ada, maka akan kubuka kenangan lama. Akan kuputar kembali masa itu. Saat nama panggilan belum Sastia, melainkan Tia. Saat kebebasan ada di tanganku. Saat keegoisan yang membuat lainnya mengalah demi aku melihatku tersenyum. Dan saat aku masih belum menerima kehadiran makhluk kecil atas nama adik membuatku ngotot ingin tidur di kamar sendiri walau tidak ada lampu.
Enam tahun, masa aku mempunyai prinsip “apa yang ku punya adalah milikku, dan yang kalian semua punya juga milikku. Semua adalah milikku” . Aku tersenyum sekarang, mengingatnya dan berbagi di atas kisah sebenarnya membuatku malu. Tapi itu memang aku yang dulu. Aku diminta untuk menjaga adikku? Aku akan pergi keluar walau nanti akan dimarahi. Ikut bermain sepak bola bersama yang lainnya di sawah, saat itu sawah dalam masa panen kacang tanah jadi hanya ada tanah dan beberapa tanaman liar.
“Sampean iki wadon, poso kan? Mengko semaput, batal loh!” (“Kamu ini perempuan, puasa kan? Nanti pingsan, batal loh!”)
“Ngece!” kataku sambil tersenyum kecut. Dia anak tetanggaku, namanya Ahyar Rosidi, kerap kupanggil Mas Rosidi karena umurnya tiga tahun lebih tua darinya. Tak hanya Mas Rosidi, teman laki-lakiku saat masih kecil ada Mas Wawan yang seumuran dengan Mas Rosidi dan kini memasuki dunia kepolisian. Mas Andang yang senang sekali bersholawat sampai sekarang, dan baru lulus SMK tahun ini. Mas Leo adalah kakak dari Mas Andang, ia ahli tentang ilmu perbengkelan. Dan terakhir ada Mas Eko yang seumuran dengan Mas Andang, ia sangat menyukai burung, ia bisa dibilang sahabatnya hewan dan alam.
“Yowes, ayo main kalau gitu!” Kata Mas Andang yang notabene susah untuk menolak.
“Aku ikuuut!”
Kami menoleh hampir serempak untuk mengetahu siapa yang baru saja berteriak dengan suara cempreng itu.
“Lali poso opo piye arek iku!” ucap Mas Rosidi sarkatis sambil menggeleng-gelengkan kepala.
Tidak heran lagi aku dengan Putri si pemilik suara cempreng itu, dia dua tahun lebih muda dariku tapi aku membolehkannya untuk memanggil namaku tanpa adanya embel-embel ‘mbak’ aku benci embel-embel itu. Putri berlari sambil melambai-lambaikan tangannya, seperti memberi isyarat untuk tidak mengacuhkannya. Dia adalah teman bertengkarku, walau hal remeh seperti rambut siapa yang terlihat merah secara alami? Kami akan bertengkar dan berujung dengan adu jotos atau aku akan menggigitnya sampai ia menangis dan menyerah. Memang rambutnya lebih merah dariku, tapi aku akan membantah dan mengatakan rambutku lebih merah bila terkena cahaya, dan aku langsung membuktikannya di bawah sinar matahari.
“Puasa aku ya… Tia itu yang mungkin ngga puasa!” Nah kan. aku bilang juga apa? Ia yang memulai pertengkaran sekarang, dan tanganku langsung gatal untuk tidak mencakarnya. Tapi Mas Rosidi menahanku untuk melakukannya dengan menggenggam tanganku. Putri, kamu selamat sekarang, tapi aku tidak bisa jamin nanti.
“Sudah, nanti kalau berkelahi puasanya juga batal loh!” Mas Wawan berjalan menuju gawang yang dibuat dengan bambu. “Ayo main, aku yang jadi kipernya.”
“Perempuannya kan ada dua, bagaimana kalau timnya dibagi menjadi dua saja?” kataku.
“Yang cewek ngga usah ikut, kasihan nanti khilaf pulang malah minum air. Hahahaha….” Mas Rosidi membuat yang lainnya juga tertawa, termasuk aku dan putri.
“Ya sudah, aku duduk sambil menghitung skornya, kalian yang main.” Kataku sambil berjalan disusul Putri menuju gundukan tanah di samping sepetak lahan yang kami buat bermain.
Permainan dibagi menjadi dua tim; tim Mas Rosidi dan Mas Andang dengan Mas Wawan dan Mas Eko, sedangkan Mas Leo menjadi wasit. Permainan berlangsung dengan penuh gelak tawa, anak-anak yang berada di bawah umur kami juga ikut bermain, walau ada adu mulut dan sedikit ada adu jotos tapi akhirnya mereka kembali melanjutkan permainan, wajar saja mereka adalah laki-laki.
Aku dan Putri mulai bosan menghitung skor dari tim mereka, mereka mulai bermain sesuka hati mereka, jadi mereka membolehkan kami berdua main semau kita. Awalnya ingin bermain masak-masakan, tapi aku menolaknya mentah-mentah, aku bosan bermain masak-masakan. Dan kami berakhir dengan lari-larian di atas gundukan tanah yang dibuat untuk jalanan, kadang kami terperosok ke tanah yang masih basah dan membuat kaki dan baju kami kotor oleh tanah. Setelah kami sudah mulai lelah, kami duduk lesehan memandang matahari yang mulai terbenam. Cahaya matahari serupa dengan warna orange krayon atau pensil warna yang ada di rumah, mereka menyebut fenomena itu senja. Senja yang tenang, sampai saat aku berumur tujuh belas tahun sekarang. Ada yang menyebutmu menyedihkan, senja. Tapi tidak ada yang lebih menyedihkan harus melihat diri sudah tidak bisa lagi tersenyum polos seperti anak kecil. Putri pernah memberikanku pilihan antara Fajar atau Senja, tapi aku tidak menjawab sesuai keinginannya. Aku menjawab sesuai isi hatiku, “kenapa harus memilih? Aku memilih keduanya karena awal juga akan berakhir.” Lalu Putri akan mengomel karena ia tak mendapatkan jawabannya.
Aku memang sudah menyebalkan dari kecil, seperti mengeluh karena Adzan Maghrib berkumandang. Sampai memakan cokelat seharga Rp 500,- an karena lupa sedang berpuasa. Berangkat tarawih, dan berebut tempat samping dinding dengan Putri. Berlomba-lomba banyaknya lembar yang dibaca ketika tadarusan.
By: SastiaPramesti
KAMU SEDANG MEMBACA
event Ramadhan
Aléatoireini adalah hasil karya event ramadhan para member Fantasia Online Square