My [un]Broken Heart

69 6 0
                                    

Aku sering bertanya pada diriku sendiri, apakah tanpa dia aku bisa berdiri tegak, apakah tanpa dia aku bisa kuat, apakah tanpa dia aku mampu untuk menjalani hidup. Pertanyaan itu selalu  berputar sejak kepergiannya. Aku selalu meratap menghadap langit malam penuh bintang. Rasanya aku tak mampu, tanpanya aku seperti manusia tanpa nyawa. Sejak saat itu, hatiku beku, merasa tak mampu meneruskan hidup. Aku sudah terlanjur sangat mencintainya. Mengapa takdir begitu kejam memisahkan aku dengan dia? Seluruh hatiku sudah terlanjur aku serahkan kepadanya. Hatiku hancur berkeping-keping saat mengetahui dia pergi meninggalkanku.

Lalu apa yang bisa aku lakukan saat dia tak ada di sisiku? Tak semudah itu memberikan hatiku kepada orang lain saat aku masih mengukir namanya di sana.

Aku menghela napas, malam ini langit tertutup awan, bintangnya tak terlihat. Saat-saat seperti ini, aku jadi lebih sering memikirkannya. Memikirkan kenangan-kenangan saat kita bersama dulu. Saat dia masih berada di sisiku. Aku memejamkan mata, rasanya sulit sekali, sangat sulit bahkan.

Dua bulan berlalu sejak hari itu, hidupku sama saja, tetap dalam poros yang sama, monoton.

“Sayang, masuk, nanti kamu sakit. Di luar dingin.” teriak mama memperingatkanku. Selalu saja seperti itu, mama memang selalu mengkhawatirkanku.

Aku hanya diam. Mama menghampiriku. Beliau menghela napas, mungkin terlalu lelah melihatku terus seperti ini. “Kamu nggak capek? Sudah dua bulan kamu seperti ini.”

Aku menatap mama, matanya menatapku khawatir. Aku tersenyum kecil. “Aku….” Aku tak bisa melanjutkan ucapanku. 

Aku merasakan air mataku jatuh. “Ma, aku mau dia kembali.”

Mama duduk di sampingku.

“Kasih, kamu tidak bisa melawan takdir, Sayang. Biarkan dia bahagia di sana. Kamu tak bisa memaksa dia harus bersamamu. Kamu harus ikhlas, jangan terus-terusan seperti ini,” ucapnya. Aku termenung.

“Sekarang kamu tidur ya, Sayang.”

Mama menarikku agar mau berdiri, aku terpaksa berdiri. Mungkin mama terlalu khawatir kepadaku. Aku masuk ke dalam kamar. Ku lihat fotoku bersamanya terpajang di dinding kamarku. Aku menatapnya nanar. Aku memejamkan mataku. Aku harus bisa hidup tanpa dia, walaupun dia sudah pergi aku harus tetap kuat. Dulu sebelum mengenalnya aku bisa menjalani hidup dengan baik. Maka sekarang, saat dia pergi hidupku juga harus tetap baik-baik saja. Aku mengambil foto itu, mengeluarkannya dari bingkai lantas merobeknya. Aku harus melupakannya.

💔

Aku berusaha terlihat baik-baik saja di depan teman-temanku. Rasanya sulit sekali untuk pura-pura terlihat baik sementara kamu sedang tidak baik-baik saja. Inilah hidupku dua bulan ini. Penuh dengan kepura-puraan.

“Sih, kamu nggak pernah sama sekali berhubungan sama Adam sejak dua bulan lalu?” tanya Geva, teman baikku sejak SMA.

Aku menggeleng, pura-pura biasa-biasa saja dengan pertanyaan itu.

“Dia nggak pernah hubungi kamu? Sekedar ngasi kabar?” tanyanya lagi, aku mengangguk lagi.

“Dia nggak bisa di hubungi sama sekali, kayak hilang nggak berjejak,” ungkapku.

“Kasih, kamu nggak baik-baik aja kan, ditinggal sama dia?”

Aku tersenyum tipis.

“Aku nggak apa-apa kok Va.”

Aku berusaha tersenyum.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 11, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

My [un]Broken Heart (One Shoot)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang