L-D

630 78 40
                                    


“Lihatlah, kenapa dia selalu ceroboh seperti itu?”

“Huh, sungguh aku muak melihatnya!”

“Mungkin dia akan mati jika tidak bertindak bodoh dalam sehari.”

“Pergi saja kau bodoh!”

Begitulah beberapa cibiran yang menjadi santapan sehari-hari untuk telinga Irene. Gadis itu bahkan sudah tidak peduli lagi tentang seberapa banyak, kasar, dan tajamnya mulut orang-orang yang sayangnya berpendidikan itu.

Ia masih sibuk memunguti lembaran kertas tugas yang berceceran di lantai sambil sesekali membenarkan letak kacamatanya. Bukan sengaja menjatuhkan apa yang dia bawa, gadis putih pucat itu sadar benar jika seseorang sengaja mentackle kakinya tadi. Dan beginilah akhirnya, dia yang menjadi objek bullyan teman satu sekolahnya.

Kalimat-kalimat pedas itu tiba-tiba berubah menjadi sebuah suara riuh. Tanpa perlu melihat satu per satu orang di sana, Irene yakin saat ini objek yang menjadi pusat perhatian mereka sudah berganti. Tapi apa pedulinya? Dia hanya ingin cepat sampai ke ruang guru dan menyelesaikan tugasnya.

“Bukan kah dia sangat tampan?”

“Kurasa dia sudah seperti itu sejak lahir.”

“Dia selalu memancarkan aura gelap dan terang secara bersamaan.”

“Orang gila mana yang bisa menolak pesonanya?”

Heol, bahkan sebagai lelaki aku mengakui jika dia keren. Menyebalkan!”

Masih banyak lagi kalimat pujian yang keluar dari mulut siswa di sana. Selama melintasi koridor, semua mata tak luput dari sosok lelaki jangkung dengan kulit sedikit gelap, tetapi menambah pesonanya itu.

Pandangannya tertuju lurus ke depan. Beberapa kali dia mendengus dengan bualan-bualan tentang dirinya. Ujung bibirnya sedikit tertarik ke atas mendengar kalimat yang terkadang berlebihan.

Tau apa kalian!

Cemoohnya dalam hati.

Kini dua orang yang tadi membuat gaduh itu, dalam kasus yang berbeda, sudah berada di depan pintu ruang guru. Susah payah Irene membuka pintu itu dengan menekan handlenya menggunakan siku, lalu menahannya dengan kaki agar tidak tertutup kembali. Sedangkan lelaki di belakangnya tidak ada niatan hanya sekedar untuk membantu.

Irene berjalan menuju sebuah bilik yang terletak pada baris kedua dari belakang, sementara lelaki itu menuju bilik yang berada paling ujung.

“Yak! Song Mino! Apa lagi ulahmu kali ini.”

Irene dan beberapa guru juga siswa yang ada di ruang itu sedikit tersentak mendengar bentakan plus gebrakan dari guru olahraganya itu.

“Aku tidak,” jawab lelaki bermarga Song itu datar. Dia yang sedang dimarahi, tapi justru dia yang terlihat paling santai.

“Aisshh!” Kang seonsaengnim berdesis menahan marah. “Tidak ada asap jika tidak ada api.” ujarnya berharap siswa di depannya ini mengerti

Dirasa sudah memiliki kepentingan lagi dalam ruangan itu, Irene lebih memilih pergi dibanding menguping pembicaraan guru dan murid itu. Nyatanya memang beberapa siswa di sini tetap bertahan di dalam ruangan hanya sekedar untuk curi dengar pembicaraan mereka. Lalu nantinya akan mereka sebar sebagai hot news.

“Mereka mengada-ngada soal itu. Aku tidak memukul siapa pun.”

Mino mencoba memberi penjelasan. Namun yang ia dapat hanyalah tatapan menghakimi dari gurunya itu. Salahnya memiliki reputasi buruk di mata semua guru sekolah ini, sehingga setiap hal yang dia katakan dan lakukan hanyalah sebuah kesalahan dan kebohongan.

Lovey DoveyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang