Namanya terus terucap dalam hati
Berputar di kepalanya tanpa henti
Saat sadar bahwa waktu mereka telah berhenti
Yang tersisa kini hanya lara hatiIni kutukan.
Seseorang tolong bangunkan Diaz dan katakan bahwa semua ini hanyalah mimpi. Kenapa dunia begitu kejam padanya?
Tidak, ganti pertanyaannya. Kenapa orang tuanya begitu kejam padanya?
Ini penistaan.
Penistaan terhadap harga diri dan arogansi Diaz. Ia tidak percaya orang tuanya jauh-jauh datang ke tempat tinggalnya dan menyeretnya pulang ke negara asalnya hanya untuk di lempar ke sebuah desa entah-berantah ini?
Yang benar saja.
Ayahnya tidak mungkin beralih profesi menjadi peternak ikan, kan? Perusahaan teknologi milik keluarganya jelas lebih memberi untung ketimbang berada disini dan bersembunyi dari dunia. Tetapi kenapa?! Apa tujuan mereka sebenarnya?!
Semuanya buruk bagi Diaz. Disini ia harus belajar semuanya dari awal. Diaz merasa seperti bocah baru lahir kemarin sore yang masih perlu dibimbing dalam segala hal.
Tiap detik, menit, dan jam di setiap harinya, Diaz selalu merutuk. Mulutnya tak pernah berhenti menggumamkan kekesalannya. Karena tidak mungkin ia mendamprat orang-orang dewasa di sekitarnya dengan sumpah serapahnya jika ia masih ingin bertahan hidup disini.
Namun, di suatu sore selepas hujan, mulutnya berhenti mengucapkan rutukan, matanya berhenti menatap nyalang, dan rahangnya tak lagi mengeras kesal.
Bukan, bukan karena pemandangan indah pelangi yang pada saat itu hadir setelah hujan reda. Bukan pula karena udara sejuk yang terasa menyenangkan menerpa kulit.
Itu karena sesosok manusia yang berdiri di ujung pondok. Sosok yang tengah merentangkan tangannya, membiarkan sinar matahari yang tampaknya malu-malu untuk kembali muncul menyorot wajahnya yang manis, dan membiarkan rambut hitam panjangnya berkibar mengikuti angin.
Mereka benar. Jangan terlalu ingin ke tempat yang kau inginkan dan lupa cara menikmati tempatmu sekarang.
Dan saat itu Diaz siap. Siap untuk mengikuti alur neraka kehidupannya.
***
"Dua ratus dua puluh tiga, Dua ratus dua puluh empat, dua ratus dua puluh... lima"
Lara menoleh saat hitungannya selesai. Dan perhitungannya benar. Diaz tiba di sebelahnya. Hampir dua bulan lamanya Lara melakukan hal kecil yang menurutnya terasa menyenangkan itu tanpa salah.
Laki-laki itu tersenyum sambil mengulurkan sebuah daun lebar berwarna kuning yang mungkin ia pungut dari pinggir jalan. Menunjukan jenis senyuman yang tak pernah ia unjukan pada siapapun di luar sana kecuali untuknya.
Lara tidak tahu itu benar atau tidak. Ia hanya mencoba mempercayai ucapan Diaz. Walau pada nyatanya, Lara memang selalu percaya— terlalu percaya pada Diaz.
"Kamu telat," Ucap Lara sambil menerima daun tersebut.
Diaz terkekeh. "Hitungan kamu tepat di angka dua ratus dua puluh lima, itu artinya... aku nggak telat." Ia mencolek hidung Lara sebagai upaya membujuk gadis itu.
Seharusnya Lara sudah terbiasa dengan sikap Diaz yang itu. Harusnya. Tetapi tak elak pipinya selalu saja merona.
Lara berdeham membenahi degup jantungnya yang terasa tidak normal tiap kali berdekatan dengan Diaz. "Saya lihat kamu dari jembatan sana dan baru mulai menghitung." Balasnya menahan senyum.
KAMU SEDANG MEMBACA
LARA
Historia CortaAku hanya ingin hadir untuk menuntunnya. Mengembalikannya ke jalannya. Dan membantunya menemui yang ia kasihi. Siapa sangka cinta memilih untuk ikut turun tangan dalam kisah kami? . . . Aku mencintaimu, apa kau tahu? Hembusan terakhir napasku kugu...