Today

8.2K 1.1K 67
                                    

“Hi, Kak Joanna,” sapa seorang pria yang suaranya menjadi tak asing lagi di telinga Joanna karena kedekatan mereka beberapa bulan ini.

“Gibran? Where have you been?”

Ehehe kok saya jadi senang begini liat Kak Joan khawatir sama saya.”

“Jadi, kamu kemana aja, Gibran?”

Gibran menaikkan kedua bahunya. “Anyways, saya sebenarnya mau berterimakasih sama Kak Joanna, berkat Kak Joanna Oma Mey serta Pak Herman dan Heru, semuanya sekarang sudah dapat beristirahat dengan tenang. Mungkin bagi sebagian orang hal yang kita lakukan beberapa bulan belakangan adalah hal trivial yang enggak penting atau bahkan nonsense, tapi tidak bagi Oma Mey, Pak Herman dan Heru.”

Joanna memperhatikan Gibran dengan saksama, entah mengapa Joanna merasa ada kesedihan yang tersirat di setiap kata yang pria itu ucapkan.

Gibran melanjutkan perkataannya setelah tadi ia mengambil jeda sejenak. Kali ini ia berbicara lebih serius dari biasanya. “Kak Joanna tahu? Setelah 'perjalanan' yang kita lakukan bersama Oma Mey, Pak Herman dan Heru membuat saya akhirnya paham betapa pentingnya 'hari ini'. Lebih sering kita selalu cemas akan apa yang terjadi esok hingga kita lupa bahwa hari ini sama pentingnya dengan esok, bahkan bisa jadi lebih penting karena apa yang kita lakukan hari ini sangat dapat mempengaruhi esok hari atau justru yang lebih disesalkan--” ada jeda lagi sebelum Gibran menyelesaikan kalimatnya.

Ia melanjutkan kalimatnya dengan lirih dan senyum tipis. “Yang lebih disesalkan adalah kita sudah tidak dapat melakukannya lagi, karena hari ini adalah kesempatan terakhir. Maka dari itu saya berkesimpulan bahwa waktu yang paling tepat untuk melakukan apa yang harus dilakukan adalah sekarang, hari ini. Time surely flies really fast. We never know when it'll stop. We never know the regret we will have tomorrow. That's why, I have a confession to make.”

“Confession?” tanya Joanna tak yakin dengan apa yang ia dengar atau lebih tepatnya penasaran dengan pengakuan apa yang akan Gibran katakan.

Gibran mengangguk pelan. “Remember when we first met?”

“Dirumah sakit waktu saya jenguk rekan kerja saya,” jawab Joanna yakin sebab memang itulah kali pertama ia melihat Gibran.

“Jauh sebelum itu,” sanggah Gibran hingga membuat Joanna mengerutkan keningnya karena bingung. “Atau lebih tepatnya saya pertama kali lihat Kak Joanna jauh sebelum kita bertemu di rumah sakit. My mind is blown when I finally remember the whole things. Saya lihat Kak Joanna pertama kali di KJRI New York, and to be honest I had crush on you until someone tapped me on the shoulder and said, 'She's taken'. The reality hit me when he added, 'It'd be better to bury the feeling sooner than later. Trust me, I've been there and not pleasant at all'.”

“Who is he?”

“Do you wanna meet him? Because he's actually told me he has something to say to you.”

Joanna tak dapat merespon perkataan Gibran sebab situasi yang ia alami sekarang benar-benar membingungkan.

“Oh iya, jika ternyata ini adalah pertemuan terakhir kita Kak Joanna, maka let me say my goodbye to you here. Thank you for everthing Kak Joanna, our path had crossed in so many indescribable ways, hadn't it? I sincerely hope you'll find your happiness and for a second please try to forget about yesterday and focus on today and tomorrow, will you? Sometimes the best thing is right next to you, don't you think so?” kata Gibran yang semakin lama semakin tak terlihat oleh Joanna. “Saya akan 'menemui' keluarga saya jadi Kak Joanna jangan cemas.”

Belum sempat Joanna membalas ucapan Gibran namun pria itu sudah terlebih dahulu menghilang dari pandangan Joanna. Ia tak tahu harus berbuat apa hingga sesosok pria muncul dan menyapanya.

“Joanna,” kata pria itu lirih. Ada rasa rindu yang jelas terpancar dari wajahnya.

“Al?”

“So, you remember me? I actually need to clarify about something, an important thing.”

“Clarify?”

“...”

---------

       “Jo, we've arrived,” kata Aidan membangunkan Joanna dengan mengusap pelan pipi Joanna dengan jemarinya. “Were you having a bad dream?” tanya Aidan setelah Joanna membuka matanya.

       Joanna menggeleng sambil berusaha untuk menegakkan kursinya.

       “Really? Because your forehead went like this while you're sleeping,” ucap Aidan sangsi sambil mengerutkan keningnya persis seperti Joanna tadi ketika ia tidur.

       “It's rather-- well-- how should I say? Hm-- essential,” kata Joanna tak menampik bahwa ia baru saja mengalami mimpi yang teramat sangat penting diantara semua mimpi yang pernah ia alami.

       “Essential?”

       Dengan senyum Joanna mengangguk dan dengan kedua tangannya ia merengkuh wajah Aidan. “Shall we go inside?”

       Aidan mengangguk, sesungguhnya ia tak percaya dengan apa yang ia saksikan sekarang. Joanna yang tersenyum dihadapannya ini persis seperti Joanna yang dulu ia kenal. Joanna yang selalu ia rindukan. “You can sleep some more.”

       Joanna menggeleng pelan, masih dengan senyum dan kedua tangan yang merengkuh wajah pria itu. “Kapan kita berangkat?”

       Pria itu melihat ke arah arlojinya. “In about four hours or so? Or, if you wanna sleep some more then we can go later,” jawab Aidan gugup, ia masih percaya tak percaya dengan apa yang ia saksikan.

       “Well-- I was thinking-- maybe you wanna have some awake time together?” tanya Joanna serius sambil berbisik di telinga Aidan.

       “What?” tanya Aidan yang mendadak sulit mencerna kata-kata yang Joanna ucapkan.

       “Nevermind, I could just sleep some more then,” kata Joanna setelah itu keluar dari mobil.

       “Wait, wait, wait! Jo! You cannot just left me like this--” kata Aidan dengan cepat sambil keluar mobil.

       Joanna yang semula ingin meninggalkan Aidan memutar tubuhnya. “I'll give you five seconds.”

       Baru saja Aidan ingin melangkah mengikuti Joanna masuk ke apartemennya, ia mendengar wanita itu berseru, “Don't forget my luggage!”

       “Damn luggage!!” umpat Aidan sambil menggerutu.

#######

So, what are you gonna do today or tomorrow?

nnrslnty
10 July 2018

      

TOMORROWTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang