Hujan di Bulan Juli part1

1K 13 3
                                    

Memasuki pertengahan awal bulan juli, cuaca begitu tidak bersahabat. Aku tidak pernah tahu kapan ia akan berdamai dan memaafkan dirinya sendiri atas segala kecurangan dalam permainan yang telah ia buat. Tiap-tiap harinya begitu sulit untuk diterka. Terkadang ia panas yang berakhir hujan, terkadang pula ia memberikan sinyal seolah-olah akan turun hujan namun pada akhirnya tidak, atau keduanya datang secara silih berganti.

Malam ini hujan begitu deras. Tiada hentinya ia bergemuruh memperkosa telingaku. Gugurnya air hujan yang aku lihat lewat jendela kamarku yang terbuka nampaknya paham dengan keadaan yang kualami sekarang. Tiap-tiap air yang jatuh menerpa atap kamarku menghidupkan keadaan malam ini jadi jauh lebih kelam dari malam-malam biasanya. Keadaan yang memaksaku untuk meniadakan prasangka buruk dan takut akan kehilangan kepada seseorang dalam foto yang kupajang tepat di samping buku-buku di meja belajarku yang masih saja kupandangi sejak senja jingga menutup hari.

Seseorang dalam foto yang aku maksud adalah Melia. Gadis beralis tebal dan punya bibir yang tipis dengan rambut lurus yang sering terurai, namun aku lebih suka melihat saat rambutnya dikuncir nampak seperti ekor kuda. Sesekali ia menggeram ketika aku mengatakan hal tersebut kepadanya. Ia mempunyai mata hazel begitu indah yang membuatku tak jemu-jemu tiap kali menatapnya, dan ia juga memiliki suara lembut dan tutur kata sopan yang mampu memanjakan saban telinga yang mendengarnya. Aku sangat mencintainya. Terlebih pada sikapnya yang begitu ramah kepada setiap orang, sekalipun kepada orang yang tidak ia kenal.

Aku beranjak dari tempat duduk untuk menutup jendela yang sedari tadi kubiarkan terbuka, begitu dingin untuk dinikmati. Angin tak kenal malu bila menjamah kulit siapa pun, termasuk kulitku.

Sejenak aku berdiri dan memandang ke seluruh sisi kamar. Tak ada hal baru di kamar ini, terkecuali, foto kami di meja belajar. Foto yang diambil pada saat kami berlibur, di Pulau Villa Luar, Riam Kanan, akhir Maret lalu. Aku tersenyum untuk kesekian kalinya melihat bibir mungil Melia tersenyum dalam foto ini. Terlihat tidak ada sedikit pun kami menyimpan sebuah beban di balik senyum itu. Kuharap itu memang benar, terlebih pada diri Melia.

Seketika ponselku berdering, tanda sebuah notifikasi baru telah masuk.

Aku yakin itu pasti dari Melia.

Ternyata memang benar, akan tetapi, pesan singkat darinya membuatku setengah terkejut. Kali ini sikapnya begitu dingin melebihi dinginnya udara malam ini. Sehingga menguatkan rasa cemas yang menyeruak di batinku, dan membuat jemariku tanpa intruksi membalas dengan kalimat sekadarnya. Aku telah habis pikir bagaimana mengembalikan kehangatan yang dulu pernah kami buat sekalipun hanya lewat teks.

Malam ini begitu dingin bila dengan sikapmu seperti ini, Melia..

Kami sepakat untuk bertemu besok di sebuah tea shop bernama ShareTea. Mungkin, kali ini tidak ada tujuan temu untuk menepis rindu. Melainkan ada beberapa hal yang ia ingin sampaikan perihal tentang kita. Entah itu tentang apa, namun firasat seakan memerintahkanku untuk siap menerima segala hal yang tidak bisa aku cegah.

SenduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang