Hujan di Bulan Juli Part2

410 12 7
                                    


Sinar matahari masuk ke dalam kamar melalui ventilasi serta menembus jendela kaca yang masih tertutup gorden, menandakan hari kian meninggi. Aku menatap sesaat jam dinding yang sudah menunjukkan pukul delapan tepat.

Aku mencoba berdiri dan menghela nafas dengan keadaan lemah setelah satu malam mataku tak kuberi nafkah, sebab aku lebih memilih untuk mencari pintu keluar dari sebuah ruangan kusebut masalah yang menistakanku sebagai seorang lelaki pecundang yang memenangkan firasat buruk, hingga membutakanku dan tersesat dalam masalah itu, daripada merubah ruangan itu jadi lebih baik.

Aku membuka lemari untuk mencari sweater merah pemberianmu yang mampu menepiskan dingin malam saat kita camping di Bukit Batas. Dengan kondisi tubuh seperti ini, mengenakan pakaian agak tebal disaat hari yang cerah, kurasa tak begitu mampu membuatku gerah.

Aku berangkat lebih awal ke tempat yang sudah kita janjikan tadi malam. Terlalu lama di dalam kamar hanya akan membuatku membusuk seperti buah yang telalu lama diperam.

Setiba di sana, aku memutuskan untuk duduk menghadap pintu masuk agar bisa melihat kedatanganmu lewat dinding kaca tembus pandang. Aku menghitung waktu ketika menunggumu. Sesaat kemudian, kamu tiba.

Dadaku jadi begitu sesak, denyut jantungku berdebar dua kali lebih cepat dari kecepatan normal. Kali ini, aku merasa kau lebih cantik dari sebelumnya, atau mungkin, aku terlalu sering melihatmu hingga tidak menyadari kau memanglah sangat cantik. Ini adalah kali pertama aku melihatmu mengenakan kerudung. Kau berjalan menghampiriku dengan wajah takut yang menunduk. Kemudian kau membuka topik pembicaraan setelah menemukan posisi duduk yang nyaman di kursi terbuat dari kayu jati tepat di hadapanku dengan kalimat: "Maaf, ya, Riz.."

Mataku terpejam mendengar suara Melia. Lirih, namun menggema di kepalaku, menguatkan prasangka apa yang akan terjadi pada kita di hari kemudian, setelah ini.

Aku menghela nafas sebanyak yang aku bisa dan menghembuskannya secara perlahan. Tak ada satu pun kata yang dapat terucap saat sepasang bola matamu ditangkap oleh pupil mataku. Lidah ini seakan kaku. Sekaku-kakunya. Bibirmu bergetar ketika melihat aku terdiam, sedang matamu berlari-lari seolah-olah mencari kalimat yang tepat untuk kau katakan agar tidak ada kata yang melukai hati.

Melia, bila benar ada yang ingin kau sampaikan padaku, katakanlah. Tak perlu takut. Lagipula, ini jauh lebih sakit dari apa yang akan kau katakan, namun aku bisa menahan. Melihatmu saat ini adalah awal dari proses perubahan definisi kita yang akan menjadi sebuah kenangan di masa akan datang. Aku paham dengan segala apa yang semesta berikan kepada kita. Aku mengerti jika selepas ini kita masih bersama, hanya akan menjalani hidup dengan nama Tuhan yang berbeda meski kita mampu melewati tiap-tiap hari dengan penuh toleransi. Karna bagiku, perbedaan inilah yang semestinya dipersatukan. Namun, takdir terlalu tebal bagaikan dinding yang begitu sulit untuk kita terobos dengan risiko mengkhianati sebuah keyakinan dalam agama.

"Aku menghargai semua keputusanmu, Mel," kataku menanggapi permohonan maaf Melia yang sedari tadi kudiamkan. Aku tak ingin berlama-lama, karna mungkin, di detik kemudian akan ada air mata yang tak dapat dibendung.

"S—sebenarnya, aku tidak bermaksud, tapi maafkan aku. Sepertinya kita tidak bisa sama-sama lagi, Riz," ucapmu dengan sedikit terbata itu menamparku. Jika aku dapat, ingin rasanya melepas kupingku, aku tak ingin mendengar sepatah kata lagi terucap dari lidahmu secara perlahan mengalahkanku.

Kemudian terlihat berat kau mengangkat ujung bibirmu untuk tersenyum, sedang sepasang matamu kini mulai berkaca-kaca, dan tanganmu menyerahkan kalung rosario, yang talinya terangkai butiran mutiara dan bagian salibnya terbuat dari perak mengilap, pemberianku di ulang tahunmu dua minggu lalu sebelum pernikahan Ibumu. Maka, kuraih kalung itu tanpa memintamu untuk tetap menyimpannya, dan kau mulai mengalihkan pandangan.

Jujur, aku benci saat-saat seperti ini. Aku tidak dewasa menyikapinya, memang tidak dewasa. Melihat kelopak matamu yang kini mulai basah membuatku berempati. Jika aku tidak sedang di hadapanmu, barangkali aku sudah babak belur karena ulah tanganku sendiri yang tidak dapat menyeka air matamu. Kondisi tubuh seperti ini semakin membuatku kaku. Aku hanya bisa diam, dan suasana jadi hening.

"Atas nama Rizky, silakan.." pemberitahuan dari seorang karyawan memecah keheningan. Aku berdeham seraya berdiri untuk mengambil pesananku, dan kau ikut berdiri dan pamit untuk pulang lebih dulu. "Riz, aku duluan, ya.." Tololnya, aku hanya mengangguk. Tak ada sepatah kata untuk menutup pertemuan ini. Dariku, pun darimu.

Aku berdiri dan terdiam melihatmu berjalan menunduk menuju pintu keluar sembari membenarkan tas selempang di bahu kananmu. Sepasang kakimu melangkah jadi lebih jauh dari pijakan kakiku.

Mengingat perihal kita yang sudah-sudah merupakan sebuah penelitian yang hasilnya menyatakan suatu ketiadaan yang pernah ada. Kau telah berubah, Melia. Tak ada lagi rambutmu yang terurai, tak ada lagi lelucon mengenai rambutmu itu, pun tak ada lagi pelukan yang lebih hangat dari senja jingga kala kita bertemu menepis rindu.

Perubahan definisi kita bagaikan langit cerah yang menggelap pertanda akan turunnya hujan. Bunyi langkah kakimu yang menjauh terdengar seperti rentetan rintik hujan yang kian menderas. Semakin kuperhatikan langkahmu yang kian menjauh, sama halnya seperti hujan yang mereda. Barangkali akan kutemukan seorang sepertimu yang kusebut pelangi, jika tidak setelah ini, barangkali selepas hujan berikutnya.

END

SenduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang