Yang Menjadi Awal Semuanya

184 24 5
                                    

2015


Adalah tahun kesaksian bisu tak berbekas di mana sebuah gedung apartement bertingkat tinggi dengan 51 lantai tengah sesak dipenuhi berbagai etnis manusia. Dari berbagai benua. Tahun itu tak ada yang lupa bahwa gedung super besar yang bertahtakan ALVOREY HAZELSCOUT berlapiskan emas di atasnya itu sedang mengadakan acara yang super mewah. Super amazing dengan tampilan yang tak seperti biasanya. Menyediakan tempat-tempat khusus untuk tamu yang penting. Jika hari-hari sebelumnya apartement ALVOREY digunakan untuk para pekerja berambisius tinggi, maka hari itu jauh berbeda. Di setiap sisi gedung tampak diberikan banyak hiasan-hiasan mahal bergelimpangan, terkhusus pada halamannya yang luas dengan begitu banyaknya pernak-pernik bertebaran yang menyilaukan mata dan membuat kagum bukan kepalang. Itu merupakan wujud nyata dari impian sang pemilik apartement yang digadang-gadang tak hanya terkenal, tak hanya kaya, tak hanya disegani, tak hanya sekadar public figure biasa, tapi juga pribadi yang amat menjadi tuntunan sukses bagi orang lainnya. Manusia-manusia yang berada di sana sibuk mengerubuni lantai dasar hingga mencapai seluruh halaman gedung. Begitu ramai. Tak dapat dihitung bila hanya mengandalkan seluruh jari sepuluh orang.

Acara yang direalisasikan bukan pula acara biasa. Bukan pula sebuah acara yang hanya memanfaatkan kehadiran para tamu untuk membuktikan bahwa acara tersebut berjalan sukses. Lebih dari itu, acara itu benar-benar istimewa. Pakaian yang dikenakan begitu kentara sangat diperhatikan, dengan pemilihan dresscode yang diwajibkan pada acara itu. Para pria dengan setelan kemeja putih dengan balutan tuxedo dan celana panjang berwarna merah maroon. Sementara para wanita mengenakan gaun panjang yang berwarna senada dengan tuxedo pria. Anak-anak disama-ratakan dengan dresscode atasan berwarna hitam sedang bawahan berwarna putih bersih. Mereka para tetua saling berbicara satu sama lain, dengan penuh kewibawaan yang tinggi dan ucapan yang begitu terukur dan terarah.

Sangkin ramainya mereka di sana, sampai-sampai hanya sedikit celah yang tersedia untuk bisa melewati kerumunan para tamu acara tersebut. Membuat seorang pria muda nan tampan yang baru saja turun dari mobil ferrari-nya terlihat kesulitan untuk bisa mencapai pintu masuk gedung apartement. Pria itu berjalan gesit sambil menempelkan telepon seluler di telinga kanannya. Sesekali dirinya mengumpat kecil tatkala ia merasakan sesak di sekitarnya.

Hingga akhirnya ia mencapai pintu lift yang berlambangkan huruf AH terbuat dari logam emas, seketika pula sambungan di telepon selulernya diangkat oleh si penerima.

"Bonne soirée, Monsieur,"
suara ringan seorang pria di seberang telepon menyapa.

Kedua kaki jenjang pria itu melangkah masuk ke dalam lift.
"Bonne soirée, Greff," dan membalas sapaan, lalu langsung menekan tombol angka, lantai yang akan ditujunya. "Bagaimana? Apa semuanya sudah beres? Kau melakukan semuanya, kan?"

Terdengar tawaan kecil dari pria di seberang sana.
"Lucu rasanya saat aku memanggilmu dengan 'Monsieur'. Seperti bukan aku saja. Dan kau biasanya sangat tidak suka ketika aku memanggilmu begitu. Ya, kan?"

Pria muda tampan mendengus singkat.
"Saat ini aku sedang tak ingin medengar basa-basimu, Greff."

"Ukh, terdengar sadis!"

"Seperti biasanya, kan.
Aku bertanya padamu. Apa semuanya sudah beres seperti yang kuminta? Kau hanya tinggal jawab, dan tak perlu berbasa-basi."

"Iya, iya, Tuan galak. Semuanya sudah fix seperti yang kau minta. Aku sudah melakukan semua yang kau inginkan. Kau sekarang hanya perlu bergegas datang ke sini. Jadi ada apa lagi?"

"Kerja bagus, Greff. Kau tentu tahu jika aku yang meneleponmu duluan maka artinya aku sedang membutuhkan tenagamu. Apa semua yang di bawah juga sudah kau siapkan?"

"Benar. Tak ada masalah dengan itu."

"Bagus. Kau harus pastikan semua yang di bawah tidak lengah. Oh ya, kau tidak melupakan benda berbentuk lingkaran itu, kan?"

"Benda berbentuk lingkaran yang mana? Memangnya kau ada menyuruhku? Setahuku tidak."

"Greff! Jangan katakan padaku kalau kau-"

Pria di seberang telepon tertawa.
"Tentu saja tidak. Aku belum pikun sepertimu. Walau aku tak kalah suksesnya darimu, tapi aku tetap bisa melakukan yang terbaikku. Aku sudah menyiapkan benda penting itu. sesuai dengan seleramu. Bahkan sejak jauh-jauh hari."

"Kau tidak berbohong?"

"Kalau pun aku bohong, pada akhirnya aku lah yang akan menjadi korban kebohonganku sendiri.
Kau itu galak, berusaha berbicara santai denganmu saja sudah membuat orang awam kejat-kejut tak karuan."
Dia tertawa.

"Baguslah kalau kau menyadarinya, Greff. Sudah tahu aku galak, jadi jangan pernah mencoba untuk macam-macam denganku kalau kau tak ingin dikubur secepatnya."
Gantian si pria muda yang tertawa.

"Kau di mana sekarang? Sedang menuju kesini?"

"Iya. Aku berada di dalam lift."

"Kalau begitu bergegaslah. Aku tak mau jadi pusat sasaran lusinan pertanyaan mereka. Aku kasihan pada mereka semua yang sudah menunggu cukup lama. Terutama pada milikmu itu."

"Bagaimana dia sekarang? Dia sudah bersiap-siap, kan? Apa dia tahu tentang semua ini, Greff?"

"Aku tak akan menjawab semua pertanyaan anarkismu sebelum kau tiba di sini."

'TUT!'

Pria berwajah tampan itu menjauhkan telepon selulernya dari telinganya saat sambungan diputus secara sepihak.

'TLING'

Lift berhenti pada lantai yang dituju. Pintu kemudian terbuka otomatis. Pria muda dan tampan itu menyempatkan tangannya untuk merapikan rambut hitamnya yang sedikit jatuh menutupi kening sebelum akhirnya melangkah tegas keluar dari lift. Sungguh terlihat macho.

NEXTERDAYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang