Lemari Tua

12 1 0
                                    

Selasa, tepat pukul 3 pagi aku terbangun. Entah kenapa akhir akhir ini gue selalu bermimpi aneh.

Karena terlalu aneh gue bahkan tidak dapat mengingat mimpi tersebut. Ah sial kepala gue pusing.

Ngiiing...

Seperti selesai mendengar bunyi ledakan bom, telinga gue berdenging cukup lama. Dan terlebih lagi saat membuka mata terdapat pemandangan yang sangat tidak ingin gue lihat, bertepatan didepan muka gue.

Putih pucat, rambut pirang kusut yang teruntai di depan wajah gue.

Gue sudah biasa bangun dengan pemandangan seperti ini jadi, ya ..gue anggap ringan saja. Tapi tetap saja, siapa yang mau bangun tidur dan melihat pemandangan seperti itu.

"sialan singkirin rambut lo, ga pernah keramas atau gimana si?"

Perkataan gue hanya dibalas dengan senyum manis yang sebenernya membuat bulu kuduk gue merinding. Dan bagi siapa saja yang pertama kali melihat dia pasti akan lari.

Kebanyakan orang pasti mengira dia adalah kuntilanak, tapi bagi gue tidak. Karena dia mengenakan gaun serba putih ala bangsawan Belanda yang menurut gue cukup menarik.

Sebut saja dia Noni Belanda. Tapi gue biasa nyebut dia dengan Nobel singkatan dari Noni Belanda.

Setelah beberapa menit, kepala gue sudah merasa normal dan gue bangun untuk mengambil air.

Jujur saja, karena mimpi yang barusan gue alami, gue selalu terbangun dalam keadaan haus dan lelah. Seteguk, dua teguk, tiga teguk cukup untuk mengurangi dahaga. Orang normal biasanya akan langsung tidur kembali, tapi tidak untuk gue. Membaca novel atau buku pelajaran adalah kegiatan gue jikalau gue terbangun seperti ini.

Gue tidak sendiri. Nobel selalu menemani gue kemana dan kapan pun. Tapi hanya diwilayah rumah. Melewati pagar dia sudah tidak mengikuti gue.

Nobel sebenernya tipe penghuni rumah yang tidak menganggu, terkadang dia bisa membantu gue jika gue kehilangan sesuatu. Seperti novel yang sedang gue baca ini. Novel yang berjudul "Permainan Maut" karya Lexie Xu ini sebelumnya sempat hilang atau bisa dibilang gue lupa tempat dimana terakhir kali gue menaruhnya. Gue sudah berusaha mencari disetiap sudut kamar dan rumah gue tapi tetap saja tidak ketemu. Dan gue iseng bertanya ke dia.

"Bel, liat novel gue ga ?" bisik gue dihadapannya dia.

Lalu dia menunjukan dimana letak novel gue. Sedikit seram si nanya ke Mahluk tak kasat mata bagi kalian yang tidak memiliki penglihatan seperti gue ini. Kalau gue sudah biasa, jadi yaa.. why not?.

Tapi si Nobel ini mau membantu gue kalau gue sudah berusaha semaksimal mungkin namun hasilnya nihil. Misalnya, gue belum nyari benda hilang yang gue butuhkan, dan gue sudah hopeless nanya ke dia. Gabakal deh dikasih tau sama dia.yang ada dia hanya menggelengkan kepalanya. Setidaknya harus ada satu tetes keringet yang harus dikorbankan, baru dia mau membantu gue.

Hantu aja bisa ngeselin ya, gimana manusia.

Gue ga bertanya kepada keduaorangtua gue, karena mereka tidak sedang dirumah melainkan sibuk kerja diluar kota. Terlebih itu, gue bisa berkomunikasi dengan mahluk halus di dalam hati, jadi semacam telepati gitu, tapi karena gue sendirian tidak ada satu pun melainkan gue dan penghuni rumah, buat apa berbicara di dalam hati kalau masih bisa memakai mulut.

"ga kerasa ya Bel, sudah jam 04.30 saja, padahal lagi adegan konfliknya nih" bisik gue.

Dia hanya melontarkan senyum dinginnya.

Dan tujuan gue berkomunikasi dengan Nobel itu agar :

1. Gue ga kesepian

2. Nobel tidak menatap gue dengan tatapan dinginnya, senyum dikit kan enak, ya.. walau creepy sih.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 13, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

ENAMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang