Mengakui bahwa sebetulnya aku tidak pandai dalam urusan bercermin, aku bersyukur masih bisa melihat pantulan diri dengan gaun pendek polos dengan jelas.
Sepersekon kemudian bukan hanya aku yang terlihat di dalam dimensi itu, kini sosok Kim Wonpil tengah menyembulkan pucuk kepalanya lewat pintu, sedikit memastikan diri ini yang telah terbiasa bangun lebih lambat, namun tidak untuk hari ini.
"Selamat pagi, Cantik."
Sapaan yang mengawali pergerakan lainnya, termasuk gerak setelahnya yang memangkas jarak di antara kami, lantas dapat kurasakan embusan napasnya menyapu kelopak mata yang memilih bergeming ketika kecupan milik Kim Wonpil sepenuhnya menyentuh dahiku.
Manis.
"Kamu harus tahu, aku membuat apa."
Tegasnya, dengan selembar senyum, tanpa menjauhkan masing-masing wajah, kini saling bertukar bayangan diri melewati retina."Teh?"
Tanpa perlu menjawab, Kim Wonpil memutar tubuhku, menuntunnya sampai kaki ini sempurna berdiri di depan area sempit yang sering ia sebut dengan meja ajaib.
Ah, sekarang dataran papan kuno tersebut telah disulap menjadi meja yang cukup menghangatkan. Lilin setengah mencair itu kini menguarkan aroma white jasmine berpadu dengan juniper, kesukaan Kim Wonpil. Didampingi secangkir teh mengepul di dalam keramik berglasir yang mempertahankan kehangatan segala isinya.
Kesukaanku.
"Habiskan tehmu, ya? Aku harus pergi."
Lapisan terakhir sandang hitam itu telah membalut tubuhnya, sedikit melupakan kehadiranku di sini ketika tangannya sibuk mengacak-acak susunan laci, tumpukan kotak, dan kotak kaca yang tergantung kokoh di sudut dinding.
"Aku akan kembali, kamuㅡ"
"Laut. Biarkan aku pergi."
Memohon, kami bertukar pandang dalam hitungan detik. Kim Wonpil sadar waktunya terbuang hanya untuk berpikir keras mengkhawatirkan apa yang baru saja ia dengar.
"Hanya sebentar. Aku janji."
Alih-alih membuat persetujuan, Kim Wonpil mendekat, menepuk puncak kepalaku setelah diraihnya tiga lembar kertas berisi komposisi medis di atas meja. Kim Wonpil pergi meninggalkan papan pintu yang dibiarkan mengambang sekian inci dari dataran dinding membentuk celah.
Lalu aku anggap itu sebagai jawaban.
Lambat laun kekosongan telah mengisi cangkir berglasir itu, mengizinkan langkah ini menapak turun dan pergi jauh menuju satu-satunya tempat yang bisa aku datangi.
Berjalan tanpa suara, membiarkan embusan angin pagi bertiup tak sampai mengacak helai rambutku. Memperjelas pandangan ke depan yang terasa semakin menipis ketika figur penikmat laut itu mulai tampak.
Kang Younghyun merapatkan lututnya, retinanya terpaku lurus mengarungi gelombang pasang tiada ujung, terkadang senyumnya terangkat bersamaan dengan angin transparan yang seolah-olah berbicara dengannya. Sangat akrab.
"Kang Younghyun!"
Hanya dengan satu seruan, sosok penuh lengkungan manis itu segera menoleh, refleks menepuk jangkauan kosong di sampingnya, memberi isyarat untuk duduk bergabung.
"Duduklah."
Bahkan sampai deru napasnya terdengar, Kang Younghyun sama sekali tidak mengubah posisi awalnya. Sedikit berbeda karena tepat ketika gelombang naik berdebur, satu tangannya meraih tanganku yang kosong, mengusapnya hati-hati seakan aku mempunyai sebuah luka di sana.
"Kim Wonpil tidak akan mencarimu?"
"Tidak, dia tahu aku pergi."
Mencari jeda, atau mencari rangkap pembicaraan lain, Kang Younghyun selalu kembali dengan pertanyaan baru.
"Kenapa kamu kemari?"
Sebelah alisku menjengkat mendengar pertanyaan itu, butuhkah alasan untuk apa yang ingin aku lakukan?
"Hanya ingin. Rasanya ada yang memanggil." Terbalas, membuat pertanyaan itu kembali pada sang pencetus. "Lalu, kamu sendiri, kenapa kemari?"
Kang Younghyun meniup udara kosong singkat, menata rapi atensinya menjelajahi tiap garis berombak di hadapan. "Karena aku menyukai laut."
Kang Younghyun juga menahan napasnya singkat, menata rapi atensinya setelah berpindah menjelajahi lekuk wajah kurus di hadapannya kini. "Dan juga kamu."
Raga terasa tertarik pada arah yang dekat. Hangat.
Lingkar tangan lebarnya mengurung raga dalam pelukan yang melindungi, sepenuhnya juga tidak dapat kulihat wajahnya yang bertumpu di sebagian ujung bahuku yang sempit.
"Aku minta maaf, aku pasti membuat Wonpil marah padamu, kan?"
Tanyanya, setelah berhasil mengunci gerakku sepenuhnya, membelai punggung dalam rengkuhannya.
"Tidak. Justru aku yang harus minta maaf padamu," dengan paksa, kujauhkan tubuh lebar Kang Younghyun, tatapannya penuh memintaku untuk melanjutkan, "maafkan aku, aku selalu meninggalkanmu. Lagi dan lagi."
Tidak mengulang pergerakan yang sama, lantas sebelah tangannya terangkat naik, menyusuri dan mengusap lembut pipi kering ini.
Lengkungan senyum nyaris sempurna itu muncul lagi, tertanggal di sana selama sekian sekon. Retinanya teduh menatap, menahan semua atensiku agar tidak melihat ke lain tempat. Hanya di sana, di dalam bola matanya.
"Aku menyayangimu."
Bisiknya, samar berlomba bersama tiupan angin tak terlihat yang semakin menggila.
Raga kembali ditariknya mendekat, membuang banyak jarak yang kini hanya menyisakan sekian inci spasi kosong dari pangkal hidung masing-masing, sedikit jarak tersisa dahi Kang Younghyun yang bertemu dengan dahiku.
Napasnya memburu, berembus semakin dekat dan semakin terasa, menuntut kemauan untuk membalas segala ucapannya.
"Aku juga menyayangimu."
"Tolong," tangan lainnya bergerak naik menyeimbangkan tangan sebelumnya, sempurna menangkup wajahku di balik wajahnya,
"selalu katakan itu."Mati rasa setelahnya, lembut sapuan bibirnya terasa seperti candu, mematikan rasa dingin dan rasa bersalah yang merambat sebelum semua ini terjadi. Wajah sepenuhnya tertahan, terkendali dalam berapapun jarak yang ia inginkan, tertekan sentuhan yang belum bersedia berhenti sekalipun kesunyian laut menyaksikan.
Manis.
KAMU SEDANG MEMBACA
EGLAF
FanfictionThat has no meaning. But can be used of any words and feelings. : Be part of RAINDROPS. [ EGLAF ; DAY6's ] ©2018, Nyctoscphile All Rights Reserved.