Rasa Yang Salah (N.A)

58 4 0
                                    

Sebuah rasa yang salah menghadirkan suatu kenyamanan yang tak terduga. Hadirnya menghapus perlahan setiap jengkal tentang sesorang di masa lalu. Aku mengenalnya tanpa sengaja,  kemudian bertemu,  mengobrol panjang lebar,  hingga akhirnya kita merasa satu pemikiran. Cerita singkat yang menjemputku ke dalam kisah berikutnya. Itu pun aku masih belum terlalu mengenalnya.  Aku bahkan tak tahu bagaimana kehidupannya sebelum ini. Yang ada dalam pikiranku saat itu adalah belajar,  dan dialah orangnya.

Pertemuan. Handponeku berbunyi dengan deringan khas lagu milik penyanyi terkenal Anji-Dia.  Ketika itu tanpa sengaja aku mempunyai tujuan ke tempat di mana dia bekerja. Dia meminta untuk bertemu. Kami mengobrol banyak hal tentang hobi yang dulu pernah aku gemari,  mungkin hingga sekarang. Di situ aku tidak mengenalnya,  bahkan namanya saja aku tak ingat padahal dia sudah memperkenalkan nama sebelumnya,  saat pertemuan pertama. Dan ketika malam tiba, dia yang kebetulan menyapa melalui chat,  tanpa sungkan aku bertanya lagi, siapa namanya?

"Bearti kamu sendiri gak save ya tadi pas kenalan. Kok cepet banget lupa," tegasnya. Bukan seperti itu,  tapi aku sendiri memang benar-benar lupa. Mungkin terlalu kaget ketika ada yang tertarik dengan tulisan tak bermakna yang kurangkai. Bahkan bisa dibilang tidak ada yang menarik disetiap alurnya,  seperti milik orang lain. Aku hanya menekuni hobi saja tak lain, karakter kata pun aku terlalu minim. Aku hanya senang menggabungkan setiap kata menjadi kalimat yang beiringan dengan imajinasi. Tapi dia seolah membangkitkan semangatku lagi,  membantuku belajar lebih tentang apa yang kusuka. Obrolan itu tak lagi singkat,  tapi juga merembet kemana-mana. Entah,  sekadar penghilang rasa jenuh atau memang begitulah adanya. Kerja terlalu serius juga tak enak. Justru dengan begini semua terasa nyantai,  tak ada beban karena harus terpatok dengan ide yang masih membeku.

Hari-hari kujalani seperti biasa dan aku banyak bertukar pikiran dengannya. Begitupun sebaliknya. Perlahan,  dia membuka jati dirinya,  akan tetapi status tak berani dia tunjukkan. Takdir berkata lain,  aku justru mengetahui faktanya dari orang lain. Saat itu aku sengaja tidak memberi tahunya terlebih dahulu. Aku akan menunggu kejujurannya,  begitulah pikirku. Hingga sampai akhirnya  dia pun dengan tawa khas mulai berani mengatakan prihal status.

"Ada sesuatu yang ingin aku ceritakan padamu," katanya. Apa yang ingin kamu ceritakan,  kurasa aku sudah mengetahuinya. Sebelum kamu membukanya,  akan kuceritakan padamu awalnya. Terakhir aku tanyakan padamu tentang nama,  lalu berakhir dengan obrolan singkat yang penuh canda. Namun,  kamu tak tahu dalam alur singkat itu aku menemukan kebenaran tentangmu. Aku berani bertaruh jika apa yang akan kamu ceritakan itu adalah apa yang aku ketahui.

"Sebenarnya aku sudah menikah,  dan memiliki bocah kecil yang baru berumur 7 bulan. Akan tetapi saat ini,  mereka tidak bersamaku," tegasnya. Cerita itu mengalir tanpa aku minta. Aku tidak kecewa atau merasa sedih mendengar untuk kedua kalinya. Sebelumnya aku sudah tahu, kebetulan sekali salah satu sahabatku menceritakan sebagian kisah hidupmu. Dan sekarang kuposisikan diriku menjadi teman curhat, setidaknya dia bisa berbagi denganku,  orang yang tak lama ini dikenalnya.

"Tapi,  sebelumnya dari mana kamu tahu?" tanyanya. Tak penting sebenarnya darimana aku tahu. Setidaknya aku lebih awal tahu dan beruntung aku tidak terjebak dalam alur takdir pertemuan itu. Meski kamu sendiri mengaku sudah terjebak di dalamnya. Aku tak mempermasalahkan kisah ini,  melainkan membuatku berpikir jika apa yang kulakukan ini adalah sesuatu yang salah. Tak sepantasnya aku hadir di antara kisahmu dengannya. Namun, ternyata baik pikiran dan hati tidaklah sejalan. Lagipula,  aku tidak sejahat itu,  toh juga aku hanya profesional dengan apa yang sedang kupelajari darimu. Bukankah begitu?

Pengalaman membuatku berubah menjadi sosok dewasa. Dewasa dalam menyikapi apa yang kutemukan dan juga kuhadapi. Aku bahkan tak ingin membuatmu semakin terjerumus dengan rasa yang salah. Maka dari itu aku putuskan untuk selalu mendukungmu menjemput mana yang aku tahu itu terbaik untukmu. Dia mendengarkan. Lama tak saling menyapa,  terhitung sejak di mana kamu berhasil mencapai tujuanmu. Dari awal aku sudah menyakini jika dia akan kembali membawa berliannya, menyimpannya dengan baik dalam sebuah ruang khusus. Dan hanya dirilah yang berhak atas itu.

"Alhamdulillah,  dia sudah di rumah bersamaku," tegasnya. Aku ikut bersyukur mendengar kabar darimu. Nikmati dan jagalah keluarga kecilmu,  itu doaku. Bagaimanapun perjalanan kisahmu dengannya,  itu sudah menjadi tanggunganmu ketika kamu sudah menentukan pilihan kepadanya. Jalani apa yang semestinya kamu jalani. Jangan lagi berpikir tentangku yang hanya sepintas hadir. Bagaimanapun kita tak akan pernah satu,  sekalipun itu dalam khayalmu. Karena bagiku,  tak akan mungkin sebuah berlian tergantikan dengan krikil yang justru menyakiti diri.

"Terkadang aku berpikir,  kenapa kita tidak dipertemukan dulu,  saat di mana aku masih sendiri," katanya. Tentu, Tuhan mempunyai sebuah rencana yang indah dibalik semua ini. Lalu kenapa justru Tuhan mempertemukan kita sekarang? Mungkin juga hadirku hanya sebuah penguji untuk hubunganmu dengannya. Itu menurutku,  entah denganmu? Menguji seberapa kuat kamu mempertahankan berlianmu. Aku tahu,  sedikit pasir yang tersisa karena genggaman erat tak kan mungkin jatuh sepenuhnya. Dan bintang yang berkilau indah takkan mungkin bisa kamu gapai.

Kamu tahu,  kisah ini terkadang terlalu rumit dipahami. Aku rasa salah tapi aku tak tahu letak kesalahannya itu di mana. Semua mengalir seperti air yang mencari muaranya. Hanya satu kata yang terlintas "bahagia"  baik untuk kamu dengannya begitupun aku dengan hidupku.

*N-A*

Short StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang