Hujan turun menderu kota Bogor sore ini, sudah sama seperti julukannya, kota hujan, selalu mendapatkan hujannya hampir setiap sore. Sore itu, banyak orang yang memaksa tubuhnya untuk masuk dikerumunan orang di halte seberang sebuah rumah sakit bersalin itu. Banyak dari mereka yang bernaung di bawah tudung halte itu untuk sekedar berteduh, menunggu jemputan, dan pengamen-pengamen cilik yang seketika berubah menjadi ojek payung bagi mereka yang lupa membawa payung.
Tidak banyak yang menyadari ada seorang gadis yang terhimpit oleh banyaknya orang di sana. Jaman sekarang orang-orang hanya memikirkan dirinya sendiri, agar dirinya tidak terkena basahan air hujan. Dan terus mendesak orang yang berada di halte untuk terus masuk agar dirinya tak terkena hujan, tanpa memperdulikan orang lain yang sesak karena terhimpit.
Sudah lebih dari satu jam hujan yang ditunggu untuk berhenti akhirnya mengerti. Awan gelap yang semula menyelimuti atap halte pelan-pelan mulai menepi dan digantikan dengan cahaya jingga sang matahari.
Satu per satu orang-orang mulai meninggalkan halte itu dan membuat gadis tadi dapat bernafas dengan mudah. Gadis itu membetulkan posisinya yang tadinya terhimpit oleh dua ibu-ibu hamil, yang saling bercerita bagaimana kemajuan dari kandungannya yang kelihatannya beru saja di periksa di rumah sakit di seberang halte itu.
Dirasakannya telepon genggamnya berdering nyaring di dalam tasnya. Ia merogoh dalam tasnya dan mendapatkan telepon genggamnya tersangkut diruwetnya kabel pengisi dayanya. Setelah didapatkannya telepon genggamnya, gadis itu menyentuh layar sentuhnya yang berwarna hijau dan segera mendekatkannya kepada telinga kanannya.
"Hallo Ndri, gue in.."
Belum sempat ia menyelesaikan kata-katanya, lawan bicaranya sudah memotong dan berteriak di sambungan telepon itu.
"Lu di mana sih Je?! Ini udah jam berapa? Kenapa sih susah banget buat ngabarin orang rumah? Sms kek wa kek line kek, jangan bikin khawatir orang rumah. Lu di mana? Gua jemput."
"Gue di depan halte sebrang rumah sakit Ndri." Jawab gadis itu dengan sedikit ragu-ragu, dirinya tau dia akan dimarahi oleh pria di ujung telepon genggamnya itu.
"ASTAGA, JAM SEGINI LU MASIH DI DEPAN RUMAH SAKIT?!" gadis itu menjauhkan telepon genggamnya dari telinganya dan menjawab,
"Kan tadi uja...."
Tut.. Tut.. Tut.. " Sialan."
Umpat gadis itu setelah mengetahui teleponnya di tutup sepihak oleh si penelpon. Masih ditemani oleh sisa gerimis yang tetap mencurahkan airnya di atas halte itu. Gadis itu mengeluarkan sebuah kabel panjang yang ia uraikan yang kemudian di pasangkannya ke ponselnya dan menyumpalkan salah satu bagian kabel itu ke telinga kirinya.
Tak lama gadis itu bersenandung pelan, sesuai dengan irama musik yang barusan ia nyalakan. Terus begitu hingga tak terasa sudah tiga puluh menit ia menunggu jemputannya yang tak kunjung datang.
Gadis itu melihat pergelangan tangannya, waktu sudah menunjuk ke pukul tujuh, langitpun sudah menjawab dengan warnanya yang semakin gelap. Halte yang semula ramai kini berubah menjadi hanya ia seorang diri yang masih setia duduk di bawah atap itu.
Perlu beberapa menit berseling tampak sebuah siluet seorang pria di sebrang halte. Tinggi, hitam dalam semburat lampu jalan, dan menenteng sebuah tas besar. Bayangan ini ternyata membuat gadis yang berada di bawah tudung atap halte itu sedikit ketakutan, gadis itu menelan ludahnya dan mulai berpikiran yang kurang baik atas pemilik siluet ini.
Dari tempat gadis itu duduk, terlihat pemilik siluet itu mengangkat tangannya untuk menyetop mobil yang melintas dan perlahan mendekati halte tempatnya bernaung. Gadis itu beringsut di tempat duduknya dan mendekap erat tasnya di pelukan. Gadis itu terus menduduk hingga terdengar suara yang terdengar tidak asing bagi sang gadis.
YOU ARE READING
JENAYA
Teen FictionJenaya, gadis usia pertengahan yang sedang dilema apakah ia harus mempertahankan prianya yang selama ini telah bersamanya atau ia harus kembali bersama cintanya yang kembali? dan apakah Jenaya mendapatkan sebuah akhir yang bahagia? dan apakah Jena...