Lelaki itu masih berjalan seperti hari kemarin, menelusuri jalanan panjang berdebu di bawah sengatan matahari yang membakar ubun-ubun. Langkahnya masih sama, terseok tapi pasti dengan keyakinan mantap bahwa dia akan menemukan apa yang ia cari. Sesekali, sebutir debu memasuki matanya yang hitam. Bibirnya tersenyum melihat perkampungan baru yang ia temukan setelah menempuh rimba tak berpenghuni.
Orang-orang memanggilnya si pengembara. Pengembara bermata tajam. Tak heran, sudah bertahun-tahun ia mengembara mencari sebuah jawab untuk sebuah tanya yang selama ini menggelayut di pikirannya. Matanya menangkap sesosok pemuda yang tengah menanam tanaman kecil. Dibelakangnya terlihat jejeran pohon yang belum terlalu tinggi.
"hei, aku pengembara bermata tajam. Kau remaja pelestari, bukan?" tanya pengembara bermata tajam. Tak heran jika ia mengetahui pemuda di depannya ini. Meskipun ia tak pernah mengunjungi daerah ini sebelumnya, sudah maklum bahwa apa yang dikerjakan seseorang itulah jati dirinya.
Remaja pelestari mengangguk. Tangannya tetap sibuk dengan tanaman barunya.
Pengembara bermata tajam tersenyum,"boleh aku bertanya sesuatu?"
Tangan remaja pelestari berhenti menata tanamannya,"hei, kau. Kalau mau bertanya, bertanya sajalah. Tak usah berbasa-basi. Aku sibuk."
Pengembara bermata tajam menghela napas, sebisa mungkin ia harus bersabar menghadapi seorang remaja pemarah di depannya,"seberapa hijaukah bumi ini?"
"tentu saja aku tak tahu. Mengapa kau menanyakannya padaku?" remaja pelestari tersenyum sinis,"dasar aneh. Lagipula, pertanyaan macam apa itu?"
Pengembara bermata tajam tak menyerah,"kau adalah seorang pelestari. Kau pasti tahu sudah seberapa hijau bumi ini. Aku harus mengetahuinya untuk memberitahu para penguasa, para penganggur dan para perusak."
Remaja pelestari menatap pengembara bermata tajam sinis,"ya, kau benar, dan aku hanya melestarikan apa yang perlu dilestarikan. Akhir-akhir ini aku menjadi sangat sibuk karena para perusak melakukan aksinya besar-besaran Minggu ini. Jadi, bisakah kau tidak menggangguku?"
Pengembara bermata tajam mendesah. Baiklah, ia akan pergi dan terus mencari.
***
Hari masih terik meskipun matahari terlihat sudah agak condong. Pengembara bermata tajam mengusap peluhnya. Sudah tiga jam ia mengitari perkampungan ini dan ia masih belum mendapat jawaban. Padahal, ia sudah bertanya pada para petani, wanita penyiram, bahkan lelaki penyubur yang ia pikir mereka akan mengetahui semuanya. Namun, ini tak semudah yang ia kira. Semua orang melakukan pekerjaanya tanpa tahu bagaimana kondisi bumi saat ini. Ia tak menyangka pengembaraannya kali ini akan memakan waktu yang banyak.
Pengembara bermata tajam menyandarkan diri ke pohon tua . Daunnya memang tak selebat pohon besar biasanya, namun cukup untuk melindungi diri dari sengat matahari.
"hei, pemuda, apa yang kau lakukan di sini? Kau terlihat sangat lelah." Pohon tua itu bersuara. Suara yang sangat teduh, berat, dan bijaksana.
Pengembara bermata tajam menyahut,"aku lelah mencari jawaban atas pertanyaanku."
Pohon tua terlihat menyadari sesuatu,"a.. apakah kau seorang pengembara?"
"ya, aku adalah pengembara. Pengembara bermata tajam."
Suara pohon tua bergetar,"apa yang ingin kau tanyakan?"
Pengembara bermata tajam mendengus, ia agak menyesal bernaung di bawah pohon tua yang cerewet seperti ini. Ia ingin beristirahat, apa pohon tua tahu?
"sudah seberapa hijau bumi ini. Itu pertanyaanku, pohon. Apa itu masalah bagimu?"
Pohon tua tersenyum,"akhirnya.. setelah sekian lama aku menunggu. Pergilah ke wanita penghitung daun. Ia tahu jawabannya. Sudah cukup lama wanita itu berhenti dari pekerjaannya karena para penguasa selalu menganggap ia tak ada. Padahal, sejak ia tak ada, bangsa kami, para pohon tua tak lagi dirawat oleh para penyubur ataupun penyiram. Kami sangat membutuhkan kehadirannya. Bujuklah ia kembali, pengembara."
Mata pengembara bermata tajam berbinar,"kalau begitu, tunjukkan aku di mana dia tinggal."
Pengembara bermata tajam benar-benar berharap inilah akhir dari perjalanan panjangnya. Ia terlalu bersemangat sampai-sampai ia lupa akan lelahnya. Ia kembali berjalan, agak cepat, melewati padang pasir dan padang rimba. Rumah wanita penghitung daun cukup jauh dari perkampungan yang ia kunjungi.
"apa kau wanita penghitung daun?" tanya pengembara bermata tajam pada seorang wanita yang sedang membersihkan daun berserakan di halaman rumahnya.
"bukan. Wanita penghitung daun ada di sana." Wanita itu menunjuk pada salah satu rumah kecil di ujung jalan.
Pengembara bermata tajam tersenyum. Ia akan segera menemui wanita yang ia cari. Rumah kecil yang wanita itu tunjuk benar-benar sederhana, tak ada yang istimewa, namun cukup nyaman untuk ditinggali.
"permisi...?"
Tak ada jawaban. Butuh ucapan tiga kali untuk melihat apa yang dinanti pengembara bermata tajam.
Seraut wajah muncul di bawah bingkai pintu. Astaga... pengembara bermata tajam tak bergerak di tempatnya. Wajah itu, ah, itu wajah yang selalu ia rindukan. Bagaimana mungkin ia bisa menemukannya dengan alur cerita seperti ini?
"gladis?" bibir pengembara bermata tajam bergetar menyebut nama wanita di depannya.
Wanita penghitung daun masih terdiam. Ia tak sekalipun mengangkat wajahnya.
Tidak seperti apa yang dibayangkan pengembara bermata tajam, wanita itu masih muda. Matanya yang berbinar terlihat sayu. Bibirnya terkatup rapat, tak ada senyum di sana. Air mukanya tak menunjukkan ekspresi apa-apa.
"ada perlu apa? Apa kau akan mengusirku?" tanya wanita penghitung daun.
Pengembara bermata tajam menggeleng cepat,"tentu saja tidak. Kau tahu? Aku mencarimu ke seluruh penjuru neg—"
"cepat katakan apa perlumu."
Pengembara bermata tajam menghela napas,"aku butuh sebuah jawaban. Hanya kau yang mengetahuinya. Sudah seberapa hijau bumi kita?"
Wanita penghitung daun melirik pengembara sejenak, "hanya itu?"
Sekilas pengembara bermata tajam melihat genangan di kelopak mata sayu wanita itu, "kau tahu, banyak pertanyaan menggelayutiku tentangmu. Tapi—"
"kau tidak perlu seberapa hijau bumi ini. Kau hanya perlu untuk selalu membuatnya hijau," wanita penghitung daun berkata tegas dengan nada bergetar. Tak lama kemudian, ia langsung menutup pintu.
Pengembara bermata tajam bergeming. Untuk kali pertama, mata tajamnya meredup, tergantikan oleh pandangan putus asa, sayu.
Wanita penghitung daun adalah seseorang itu, seseorang yang dialah penyebab mengapa tak lagi bekerja, tak lagi mengontrol keseimbangan surga yang kembali patah ini. Ia merasa, janjinya pada pohon tua untuk kembali membujuk wanita penghitung daun tak dapat tertunai sampai akhir masa hidupnya. Tapi apapun itu, surga yang patah ini harus kembali utuh, meski mereka tahu, keutuhan itu tak dapat menyembuhkan keretakannya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Pengembara Bermata Tajam
Short StoryKalian suka sastra? Biar kubacakan beberapa cerita yang kuharap kalian menyukainya.