Ruangan tiga kali tiga meter persegi itu semakin terasa mencekam. Pengap, hanya sekotak kaca atap yang membiarkan sinar matahari masuk. Sebuah lampu pijar menggantung tepat di atas meja yang menjadi pemisah dua orang yang belum pernah bicara sama sekali sejak mereka masuk ruangan itu. Kamera pengintai di sudut-sudut ruangan menjadi saksi bisu akan sebuah jawab atas tragedi sehari yang lalu. Siapapun yang masuk ke ruangan itu tak pernah ingin berlama-lama.
"baiklah, siapa namamu?!" lelaki berseragam hijau bertanya kasar pada pemuda bersarung yang terlihat sedang kesakitan ini.
"mujaddid." Pemuda itu menjawab dengan datar. Rahangnya mengeras. Tak seharusnya ia berada di sini.
"mujaddid, yai."kepala anak lelaki 13 tahun itu menjawab dengan takdzim. Bibirnya tersenyum. Ia selalu bermimpi bisa berada di tempat ini.
Kyai Nashir mengangguk-angguk, sangat lembut,"mujaddid ya, yang artinya pembaharu. Sang pembaharu di masa depan."
Pemuda bernama mujaddid itu menghela napas. Sakit mengingat bagaimana saat itu ia dengan bangga menyebut namanya sendiri di depan kyai nashir. Tentu saja, bukan mujaddid seperti ini yang ia kehendaki.
"mu..jaddid. nama lengkap?" mata lelaki berseragam hijau tak beralih dari laptopnya, sibuk mengetik entah apa. Maksudku, tak perlu selama itu untuk mengetik sebuah nama, bukan?
Mujaddid memejamkan mata, menahan sakit di kepalanya,"sudah lengkap. Mujaddid, hanya mujaddid. Kau bisa memanggilku jaddid, adid, ataupun mujaddid. Sudah aku jawab dengan sangat lengkap, bukan?"
"ya ya. Kau memang pemuda kuat, nak. Di mana kau belajar?!" lelaki berseragam hijau kembali bertanya. Kali ini lebih santai.
Mujaddid memandang tajam,"pesantren mujahidin."
Lelaki berseragam hijau berkata pelan,"sudah kuduga, memang ladangnya."
"tidak," mujaddid menggertak, masih berusaha agar amarahnya tidak keluar, "sudah kukatakan, aku bukan tersangkanya. Bahkan, jika memang aku yang bersalah, jangan sekali-kali merendahkan pesantrenku."
Lelaki berseragam hijau tersenyum sinis,"kau di sini bukan sebagai saksi. Jadi, bertingkahlah selayaknya tersangka,nak."
Ini sudah keterlaluan. Mujaddid tak bisa diam saja. Sudah setengah jam ia di sini menahan sakit di seluruh luka tubuh dan hatinya. Ia bukan orang semacam itu. Bagaimana mungkin ia menghancurkan negaranya sedangkan sesepuh pondoknya seorang pejuang negeri? Ia menguatkan hatinya.
"aku tidak bersalah! Mereka yang bersalah!" mujaddid berdiri menahan emosi yang hampir keluar. Ia harus tetap tenang.
Lelaki berseragam hijau berdehem,"baiklah, kita lanjutkan nanti, anak muda."
***
Tujuh hari sebelum hari ini.
Mujaddid memberanikan diri menghadap langsung pada kyai nashir untuk mengutarakan apa yang akan dilakukannya. Sebisa mungkin ia harus melakukan ini. Ia tak bisa membiarkan hal ini terjadi begitu saja. Ia harus melindungi negeri republik ini sejauh yang ia bisa. Kemungkinan ia akan meninggalkan ladang ilmunya ini untuk beberapa hari ke depan.
"kyai, saya ingin pergi ke Ibu Kota besok. Ada yang harus saya lakukan."
Kyai nashir menatap santri yang sudah menjadi tangan kanannya itu,"kenapa?"
Mujaddid menghirup napas, menyiapkan mental menceritakan apa yang sedang terjadi pada salah seorang teman sekelas di sekolahnya,"jadi, yai—"
KAMU SEDANG MEMBACA
Pengembara Bermata Tajam
Short StoryKalian suka sastra? Biar kubacakan beberapa cerita yang kuharap kalian menyukainya.