03. Sebuah awal [part 3]

99 10 3
                                    


Saat aku datang, banyak sekali wartawan yang berada di depan rumah paman Robert. Taksi yang kutumpangi tidak bisa menembus tembok wartawan dan terpaksa berhenti. Pembayaran kulakukan dengan cepat dan tanpa sadar kakiku bergerak dengan sigap melalui celah-celah sempit pada kaki mereka. Beberapa saat kemudian mulailah tampak apa yang terlihat di depan.

Semuanya hitam, dengan asap kecil yang masih mengepul. Rumah mewah dengan penghuninya yang tak ditemukan itu kini hampir rata dengan tanah. Saat aku mencoba untuk masuk lebih dalam, dua polisi yang berjaga menahanku. Dua polisi berseragam biru itu melarangku untuk melewati gerbang yang dipasangi garis polisi.

"Tapi aku keluarganya," teriakku pada polisi itu. Aku memang marah karena aku tak boleh masuk. Tapi aku juga tak ingin berbuat nekat. Aku hanya berani membentak polisi itu.

"Mohon tunggu sebentar, kami akan melapor pada atasan," jawab polisi dengan tenang walaupun sedikit terkejut karena aku membentaknya. Baginya, mungkin itu biasa karena aku belum dewasa.

"Cih.. cepat katakan pada atasanmu," kataku sedikit tenang.

Polisi dengan badan kecil itu berlari pada pria yang yang dianggapnya atasannya itu. Tak lama kemudian pria berbadan kekar dengan potongan rambut cepak menghampiriku. Badannya begitu besar hingga rasanya seperti aku kesulitan menelan ludah.

"Kau mau masuk?" tanyanya dengan suara yang menyeramkan menurutku. Sedangkan aku hanya mengangguk untuk membalas pertanyaanya.

"Siapa namamu?" tanyanya kembali.

"Jake Mikaela," jawabku lantang setengah berteriak karena aku memaksakan diri. Aku yakin sekarang aku terlihat seperti orang bodoh.

"Hm... Jake Mikaela," gumamnya pelan sambil membolak-balik catatan di buku berwarna hitam yang dipegangnya itu, "Jake Mikaela, anak dari adik korban, Robert Mikaela. Apa aku salah?"

"Anda benar, sir," jawabku lantang setengah berteriak, lagi.

"Kalau kau kesana, kau memangnya mau apa hah?"

"A...a...aku," ucapanku terhenti. Tidak terpikirkan olehku apa yang akan aku lakukan setelah melewati garis kuning dengan belang hitam tersebut.

Mengingat kebaikan yang pernah paman dan bibi lakukan, aku jadi gemetar. Tanganku mengepal sembari bertekad. Kudongakkan kepalaku dengan berani menatap wajah sang kolonel.

"Aku akan berbincang sebentar dengan mereka. Menanyakan apakah disana memang indah. Dan aku juga akan memberi penghormatan terakhir untuk mereka," walaupun tampak tegar, aku tetap tak bisa membendung kesedihanku. Bulir- bulir air mata jatuh mengenai pipiku.

"Jangan cengeng, nak. Atau kau tak pantas memberikan perhormatan terakhir pada mereka," Tangan besarnya yang awalnya aku takuti memegang bahuku. Lama kelamaan tangannya menekan pada bahuku. Aku bisa merasakan simpati yang luar biasa dari sang kolonel melalui cengkraman tangannya, "Kau diijinkan melewati gerbang tetapi aku sendiri yang akan menemanimu,"

"Terima kasih," sambil berkata demikian aku buru-buru menghapus air mataku

Lalu aku mengekorinya masuk ke dalam gerbang. Sebelum sampai ke tanah yang menghitam, terlebih dahulu kami melewati taman yang luas- satu satunya yang tersisa dari rumah itu. Rumputnya masih hijau dengan ujung keabu- abuan. Mataku sempat melihat kumpulan bunga tulip berwarna hitam. Tanpa pikir panjang, kuhampiri tempat yang dipenuhi bunga tulip tersebut. Satu... dua... tiga... aku memetik tiga tangkai bunga tulip.

"Jake," panggil sang kolonel dari pinggir tanah yang berwarna hitam. Tangannya melambai menyuruhku untuk cepat. Aku berlari kearahnya dan langsung berjongkok di depan persis tanah yang menghitam. Kuletakkan tiga tangkai bunga tulip hitam yang baru saja kupetik. Satu untuk paman Robert, dua untuk bibi Alice dan tiga untuk sepupuku, hendrick.

Berbahagialah kalian disana, batinku mengucap.

"Sungguh kejam," komentar sang kolonel, "sebenarnya kami menemukan bukti bahwa rumah ini sengaja dibakar. Diduga asal api berasal dari dapur rumah dan ditempat itu tercium bau minyak tanah yang sangat menyengat. Tentu saja kami akan menyelesaikan kasus besar ini dengan cepat. Jadi jangan khawatir."

Masih dalam posisi berjongkok, tanganku mengepal penuh ambisi. Dalam hati aku mengeluh, sebenarnya ada apa dengan hidupku ini.

-o-

Sungguh aku berterima kasih banyak pada kolonel berbadan besar dengan name tag Johan. KR itu. Beberapa kali kami terlibat dalam percakapan yang seru. Aku sedikit berbangga hati karena ia bilang aku anak muda yang cukup pintar.

"oh ya, aku sepertinya pernah melihatmu di suatu tempat. Kalau tidak salah kau yang pernah maju dalam perlombaan debat di ibukota itu, kan? Penampilanmu sangat luar biasa anak muda," kata kolonel Johan.

"Ah ya... itu mungkin aku. Terima kasih atas pujiannya dan untuk hari ini. Aku sungguh-sungguh berterimakasih," aku sedikit membungkukkan badan ke arahnya sebagai rasa terimakasihku.

"Hahaha... santai saja. Kalau kau butuh bantuan datanglah saja padaku,"

Aku berpikir sejenak. Dimanakah aku akan tinggal nanti tanpa ada orang yang bertanggung jawab? Kuputuskan untuk mencari kamar kos dengan harga yang murah.

"Anu... aku sedang mencari kamar kos yang murah. Apa anda tau dimana aku bisa menemukannya?" tanyaku pada kolonel Johan.

"Lebih baik kau pergi ke Varick street. Disana banyak penginapan yang cukup bagus dan murah. Kalu kau kesana, jangan menghampiri rumah yang bertuliskan 'rumah pribadi' karena mereka memang tidak menyewakan ruangan disana," saran kolonel Johan.

"Kalau begitu terima kasih lagi."

"Ah... kau terlalu banyak berterimakasih," katanya sambil mengacak-acak rambutku. Entah mengapa kolonel Johan yang awalnya aku takuti terlihat seperti ayah waktu dulu.

-o-

Taksi yang kunaiki berjalan pelan menyusuri jalanan di Varick street. Tanpa sengaja, dari puluhan rumah yang aku lihat, ada satu rumah yang menarik perhatianku. Plat besi dengan tulisan besar-besar nama seorang detektif yang tidak terkenal membuatku memerintahkan sopir taksi untuk memberhentikan taksi secara mendadak.

Setelah kudekati rumah itu, barulah aku sadar jika rumah yang membuatku tertarik itu kotor, bau, dan sepertinya tidak terurus. Halaman yang dipenuhi sampah dedaunan, kolam ikan keruh yang entah ada ikannya atau tidak ,dan ayunan besi yang sudah tua dan berkarat membuatku mengerutkan dahi. Benar-benar meragukan, batinku.

Segera kutepis pikiran negatif itu. Aku harus cepat beristirahat dan merencanakan kembali apa yang harus aku lakukan untuk kedepannya. Awalnya kuketuk perlahan pintu kayu rumah si detektif . Karena tidak ada jawaban dari dalam, aku pun memberanikan diri masuk tanpa permisi karena pintunya memang tidak terkunci. Dan hal yang kulihat pertama kali saat memasuki rumah ini membuatku terkejut.

Seseorang dengan mulut berbusa tergeletak pada sofa.

-0-


Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 21, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Detektif ClarkTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang