ONESHOOT

881 113 36
                                    

“Sampaikan salamku pada ibumu.” Hyukjae mengangguk, memasukkan amplop cokelat berisi beberapa puluh ribu won yang diberikan kepadanya ke dalam tas.

Suasana Haru&Oneday Café masih begitu ramai pengunjung, kental akan bau kopi, dan musik – musik klasik tahun 30 an. Atmosfir ria perbincangan orang – orang berbekal minuman manis dan kue di meja mereka kontras sekali dengan wajah murung laki – laki muda berambut merah terang yang tengah duduk di hadapan sang pemilik café sendiri. Entah sudah berapa lama laki – laki itu tak pernah lagi tersenyum secara tulus, Hyukjae juga tidak yakin. Semua berawal dari sang ibu yang mengalami depresi berat tiga bulan lalu.

“Aku dan ibu minta maaf karena hanya ini yang bisa kami berikan. Namun segera setelah aku menemukan pekerjaan yang tepat untuk ibumu di café—“

“Kau telah membantu sangat banyak, Jungsu Hyung.” Hyukjae menghembuskan napasnya berat, mengaduk secangkir cokelat panas gratis yang selalu ia dapatkan setiap kali berkunjung. “Aku juga mulai menggambar beberapa sketsa dan menjualnya pada teman – temanku dulu… aku dapat bertahan, untuk beberapa bulan ini.”

Jungsu tahu jika Hyukjae tengah berbohong, namun ia tak menekan topik tersebut lebih lanjut ketika sosok lain mendekati meja mereka.

“K—kopimu, Jungsu Hyung.”

“Terima kasih, Donghae.” Sang pemilik café berkata pada salah satu pegawainya. Hyukjae sebagai salah satu pelanggan tetap dari Haru&Oneday kesulitan untuk mengenali pegawai tersebut. Aneh, karena hampir selama tiga tahun berturut – turut ia menghabiskan setiap malam untuk merenung dan menggambar di café ini.

“Hyukjae, kenalkan ini adikku, Donghae. Ia barista baru di café. Dan Donghae, kenalkan—ia adalah sahabatku, Hyukjae.“

“Senang berkenalan d—denganmu, Hyu—hyukjae.”

“Begitu juga aku, Donghae.” Hyukjae menerima uluran tangan Donghae di hadapannya, berusaha sedikit tersenyum (meskipun gagal) dan menemukan dirinya kesulitan untuk memulai sebuah pembicaraan. Tak butuh waktu lama sebelum Jungsu meminta adiknya untuk kembali ke dapur.

Donghae, dengan papan nama di dada kirinya dan senyum lebar yang seperti paten tergambar pada wajah tampannya menunduk sopan sebelum pergi dari meja untuk menangani pesanan dari pelanggan lainnya.

Seolah mengetahui rasa penasaran Hyukjae akan sosok asing di café, Jungsu berkata. “Donghae, anak yang ibu asuh sejak umur empat tahun. Ia baru saja lulus dari kursus barista yang kudaftarkan di Busan. Seorang anak yang cemerlang seandainya saja orang tuanya memberinya kesempatan…” Pandangan Jungsu terlihat sangat jauh, penuh simpatik. Hyukjae membiarkan anak dari teman ibunya itu untuk melanjutkan penjelasannya dengan menyeruput cokelat panas di hadapannya.

“Orang tua Donghae menolak untuk mengakuinya, setelah mereka tahu Donghae tidak dapat berbicara di ulang tahunnya yang ketiga. Dokter mendiagnosa Donghae mengidap ASD pada saat itu. kemudian mereka memberikan Donghae kepada ibu untuk dirawat, walaupun tetap membiayai perawatannya sampai dengan saat ini. Seandainya… seandainya mereka tahu betapa Donghae tumbuh menjadi seorang laki – laki bertanggung jawab yang membanggakan.”

“ASD?”

Autism Spectrum Disorders. Tetapi, ia berkembang dengan baik dan hanya memiliki kesulitan dalam berbicara.”

Hyukjae terus memandangi sosok bernama ‘Donghae’ dari ujung matanya. Tubuh lelaki itu tegap dan memiliki otot di tempat – tempat yang sangat pas untuk ukuran lelaki Korea. Wajahnya tampan, dengan alis tebal, bibir tipis, dan senyum lebar yang selalu ia sunggingkan. Sulit untuk menebak bahwa Donghae memiliki masa lalu yang kelam dibalik senyum tersebut. “Ia tampak baik – baik saja.”

SUARA HATITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang