PESTA

76.5K 3.4K 338
                                    

Aku yakin anak gaul ibukota akan menyebut ini sebagai party, yang ala-ala selebrity.

Malam merangkak pelan, lima belas menit setelah kudengar azan isya yang sayup-sayup dari desa tetangga.

Aktivitas manusia di perbukitan yang dipenuhi kebun teh ini terminimalisasi karena barrier antara belahan bumi dan matahari, gelap benar benar membuat penduduk desa berinsut, beristirahat sampai cahaya muncul kembali esok hari.

Semakin dalam malam, makhluk nocturnal akan mengadu peruntungan, bisa saja untuk makan, atau mengikuti insting mereka untuk berkembang, memperbanyak koloni dengan pembuahan. Bunyi yang dihasilkan mereka berkejar kejaran, tak peduli ini musim kering maupun hujan.

Dingin merayap, dan ketakutan mulai menyesap, terhisap oleh banyaknya aktivitas tak kasat mata. Kita berpesta bukan dengan musik yang dikeluarkan oleh alat-alat buatan manusia. Ini hanya irama yang dihasilkan alam, setelah hujan rintik rintik membuat genangan, dan angin menggerek ilalang, disertai petir ganas, dan pukulan atap yang rompong di rumah kecil di atas bukit ini.

Wanita itu kembali merapikan daster lusuhnya, menutupi baunya dengan kembang kenanga, lalu tanpa diperintah dia duduk dengan santai, tanpa mengayunkan kaki. Katanya dia menunggu kekasihnya yang seperti pujangga, yang biasanya bermukim di pohon kopi.

"Dia akan datang, jangan pulang dulu!" ucapku menenangkan karena lama kelamaan wanita ini seperti sudah tak tahan, padahal baru 15 menit pesta ini diadakan.

Aku bujuk dia sabar, dibandingkan jika jiwa mellow-nya datang, dia akan menangis sesegukan, sampai kupingku yang bisa mendengar dipenuhi dengungan. Ramai sekali malam ini, tapi dia tak punya satupun teman, kastanya di dunia tak terlihat terlalu rendahan. Energi residual kematiannya sungguh tragis, berakhir dengan semua penolakan, langit dan bumi, dan tentunya dia ini payah sekali bersosialisasi.

"Aku kenalkan kau dengan Sinti. Kulihat dia tadi ada di sekitar sini, maka tunggulah di sini, dan pergilah makan!"

Dia mengangguk, dia sibak rambutnya yang menutupi penglihatannya. Goresan dan cabikan dimana-mana. Kelemahannya adalah kaca, karena kalau sudah tatap-tatapan dia akan menangis sepanjang malam sampai pagi datang. Tak pernah terima keadaan. Di umurnya yang stagnan 18 tahun sejak kematiannya, aku tak mengerti kenapa dia masih penuh rasa benci, yang biasanya kutanggapi dengan kasihan.

Aroma dupa dan banyak sesajian, membuat ruangan ini engap. Aku harus membedakan mata manusiaku yang masih berfungsi dan mata yang bisa melihat sisi lain dari dimensi. Ku cari di kumpulan wanita muda itu Sinti, susah sekali apalagi baju mereka rata-rata tak ada bedanya; putih berdaki. Satu hal yang bikin dia cukup berbeda adalah lubang besar bernanah di punggungnya. Baunya lebih pekat, seperti daging busuk, tapi meskipun begitu aku paling tau Sinti adalah kunti yang ramah dan bisa diajak berkompromi.

"Sin, ada yang mau kenalan, namanya Ningsih, jangan pacaran mulu disini"

Aku tau cara bagaimana menandakan  para jin-jin qorin ini jatuh hati, walaupun wajah mereka pucat pasi, tapi setiap mereka tertarik sesama lawan jenis mereka akan menunjukan kegembiraannya dengan tertawa-tawa, melengking, kemudian menangis karena mereka masih dipengaruhi masa masa penuh tangis di dunia manusia dulu. Namun, melihat Sinti hari ini yang sedang dimabuk asmara dengan laki-laki tinggi besar, aku sepertinya tak tega mengganggu kemesraan mereka.

"Kun, kamu ganggu kita saja, tapi yang mana ya?"

'Dia memang yang paling gampang berkorban', pikirku. Sekejap Sinti mengikutiku, sibakan terusannya melayang, menerobos banyak sekali energi yang sama besar dengannya. Lagi- lagi dia tertinggal di belakang.

Sinti, kuliat sedang minta maaf dengan ketua geng wewe yang bertetek paling besar, dia sepertinya dalam bahaya. Karena setauku kumpulan wewe yang kesini selain berpesta juga membuka forum di bawah forum, merencanakan proyek mereka untuk menyelamatkan anak-anak manusia dari orang tua yang tidak peduli.

Aku sang pemilik pesta melerai mereka, lalu membawa Sinti pergi jauh-jauh.

"Kau terlalu cepat jalannya Kun. Kau harus mengerti aku,  sistem navigasiku nggak sebagus kamu. Energiku gampang bentrok, kau tau kan bagaimana manusia dan manusia, begitu juga hantu dengan hantu, kau tembus saat berjalan di antara kami, dan aku saat mau menerobos mereka malah aku yang diterobos"

Sinti adalah kunti terbaik, yang dulu hidupnya sangat aut-autan sebelum rumah ini ku tinggali. Namun, sepertinya percakapan dari malam sampai dini hari bisa membuat kita berdua saling menyemangati. Jadilah dia Sinti yang sekarang, lebih jauh dari kata sedih, dan semakin berdamai dengan hidupnya yang lalu.

Aku pertemukan mereka berdua. Kutinggalkan setelah mereka bersalaman, ku kendalikan pesta, kunyalakan lagi dupa yang masih tersisa, petir semakin menyambar. Hari ini jumat kliwon di penanggalan jawa. Ini  bulan kedelapan aku disini, di rumah yang penampakannya adalah gubuk kecil yang sederhana. Dari seorang anak yang disebut mereka indigo, yang telah bertahun-tahun hidup di dunianya sendiri, yang disingkirkan demi harta benda. Aku benci sekali dengan mereka.

DUPATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang