SUNARSIH BAGIAN TIGA

4.3K 395 43
                                    

Sinar lengkung bulan muda memasuki celah-celah kosong rimbunan dedaunan, menyinari bagian bawah kanopi pepohonan nan tinggi-tinggi. Selisik gerimis yang hanya sebentar tak cukup membuat genangan di lantai hutan, malah turunnya air tadi mengikutsertakan kabut, mengacaukan jarak pandang dalam kegelapan. Kanan kiri pohon akasia tegap berdiri, dahan dahannya saling berangkulan, menghalangi pandangan ke langit. Racau burung dan makhluk nocturnal lainnya mengisi orkestra suara malam mengalahkan suara langkah hati hati manusia pada seresah, agar tak menginjak binatang melata yang berbisa, yang biasanya sedang aktif mencari mangsa.

Sunarsih menggenggam tangan amanda, buah hati terakhir yang bisa dia andalkan setelah anak tertuanya baru saja selesai isya tadi menunjukan gejala gejala di tampar setan seperti penjelasan sesepuh desa. Andini tiba tiba bertingkah kayak orang kena sawan, diam seribu bahasa disertai kejang kejang dan demam. Beredar kabar dari tetangga, kesalahan anak tertuanya itu berasal dari melangkahi kuburan keramat waktu mencari kayu bakar senja-senja.

Sunarsih dilanda ketakutan, meski sudah satu tahun berbagai bentuk pemujaan siluman itu sudah dia tinggalkan dan seseorang sakti mandraguna di desa ini memastikan dia sudah bebas dengan bentuk apapun perjanjian, tetap saja dia didera trauma berkepanjangan. Terlebih sekarang anak terakhirnya mulai mencurigai adanya tumbal lanjutan. Tanpa pikir panjang, dua anak beranak itu memutuskan kembali ke dukun desa itu lagi untuk konsultasi permasalahan.

Lolongan anjing bersahut sahutan mengiringi perjalanan mereka berdua. Sejauh mata memandang, semuanya hutan, hanya vegetasinya saja yang berbeda. Dari tumbuhan heterogen sampai semuanya homogen yang ditanami tanaman komoditi. Saat memasuki hutan bambu, Amanda semakin merapatkan dekapan ke lengan ibunya yang memegangi lentera di tangan kanannya. Selain untuk penerangan, api adalah salah satu yang ditakuti macan kumbang yang biasanya mencari makan pada malam malam. Sunarsih kerahkan kewaspadaan tingkat tinggi terhadap dua mata yang bersinar dalam kegelapan, bukan untuk menakuti setan , tetapi mengawasi keberadaan makhluk makhluk yang kasat mata yang tak akan segan segan menerkam kalau lagi kelaparan.

"ibu, ibu apaan tuh ada yang terbang, putih putih" amanda meremas penggelangan tangan sunarsih, anaknya itu emang paling takut dengan yang namanya hantu, sunarsih perhatikan kelebatan itu sebentar, perlu diketahui hutan bambu ini memang terkenal tempat jin buang anak, makanya di waktu malam warga sekitar sudah mengharami tempat ini untuk dijejaki.

"nggak apa apa, mereka tak akan bisa membunuhmu amanda karena kau tak salah apa apa, jadi apa yang musti kau takuti, ingat kakakmu di rumah hampir terbunuh kali ini"

Anak nya yang berumur dua puluh tahun itu kembali terdiam, melanjutkan perjalanan dengan konsentrasi yang tinggi sampai langit luas tak terhalangi kanopi pepohanan. Dan mereka berdua melanjutkan membelah jalanan dengan menebas ilalang yang panjang-panjang. Kadang kaki anak sunarsih terjerat rimpangnya yang bergelimpangan, disusuli pekikan amanda yang semakin ketakutan. Tak ada pilihan lain, ini rute tercepat untuk ke rumah dukun itu dari pada harus memutar melewati satu dusun lagi.

Desa tempat pelarian sunarsih ini masih terhitung terpencil, hutan masih banyak yang perawan dan ada zona larangan disebabkan banyaknya kepercayaan mistis yang masih dipertahankan sampai saat ini. Masyarakatnya masih tak terlalu akrab dengan kendaraan bermotor kecuali mobil pengangkut hasil panen atau beberapa sepeda motor yang sudah ketinggalan jaman yang dimiliki beberapa orang kaya desa. Boro boro telepon selular, sinyalnya pasti hilang hilang, tak stabil karena pemancar sinyalnya hanya satu-satu, sehingga jika dalam keadaan urgensi seperti ini tak ada yang bisa membantu kecuali harus bertatap muka langsung untuk menyampaikan maksud dan tujuan.

Padang ilalang sudah jauh dari pandangan, desau angin menggoyangkan rumpunan bambu dan menciptakan bunyi gesekan ketika dua batang bersenggolan. Rumput masih sedikit basah, tapi serangga tanah sudah berpesta pora, mengepakan sayap dan menciptakan bebunyian. Bersahut sahutan, yang kadang diiringi lolongan anjing seperti mengucapkan selamat datang. Mereka berdua semakin dekat dengan tujuan.

Rumah itu berdinding bambu yang ditipiskan lalu dianyam, layaknya rumah panggung, rumah itu berdiri satu meter lebih tinggi dari daratan. Disela sela dindingnya, masih dapat ditangkap secercah cahaya dari lampu minyak tanah menandakan jika sang empunya rumah masih dalam kondisi terjaga. Padahal sudah pergantian hari saat sunarsih menatap jam dipergelangan tangan. Perjalanan barusan memakan waktu lebih dari satu jam lamanya, dan gayung bersambut, sepertinya sesepuh penghubung dua dunia ini tau sekali jika gubuknya sebentar lagi akan disinggahi. Dia buka pintunya dengan terbongkok bongkok melepaskan pasak kayu, menyapa sunarsih dan kedua anaknya sebelum keduanya mengetuk pintu. Dia semburkan sirih dari sela sela giginya yang tanggal, lalu mulailah sepuh itu berbicara dan membuat bulu kuduk seketika berdiri.

"ambil air dari sumurku itu" dia serahkan wadah kendi labu kukuk, dan dengan tingkah kebingungan sunarsih ambil benda itu, dan berjalan mengikuti sorot mata nenek itu menuju bagian belakang rumahnya tanpa berkata kata.

Amanda mengekori langkah ibunya sampai ke sumur yang ditumbuhi banyak lumut dan paku yang menjalari dinding dinding dari sumur. Tak ada katrol untuk memudahkan menaikan air, hanya satu timba dengan tali rafia yang dililitkan satu sama lain agar lebih kuat. Saat air itu dinaikan seperti ada auman suara macan yang sedang memata matai mereka bergerak mendekat, sunarsih ambil kembali lentera yang beralih posisi di tangan amanda, berharap bisa menyelamatkan diri.

"tidak apa apa, dia tak akan bisa mencelakaimu, dia peliharaan saya, ambil saja airnya, dan bawa ke anakmu itu usap kepalanya, berangkat lah sekarang, jangan telat dari jam dua pagi, ambil lah rute tercepat, kalian harus sampai sebelum jam dua, sebelum sukmanya benar benar pergi, dan kau tidak akan bertemu dia lagi,

Orang tua itu lalu berjalan menuju rumahnya tanpa mau mendengarkan sunarsih yang berbicara tentang bayaran seperti yang dia lakukan sebelum sebelumnya. Dia tutup pintunya rapat rapat lagi meninggalkan dua anak beranak itu diluar. Hanya ada suara dari dalam, menyuruh mereka cepat cepat atau tidak mau menyesal pada akhirnya.

Kendi itu ditenteng amanda, sunarsih membawa lentera, kembali mengingat ngingat jalan yang sudah mereka tebas agar tak membuang buang waktu percuma. Udara dingin mulai merambat, kabut semakin menyesak, jarak pandang semakin sempit, dan angin semakin ribut menggoyang goyangkan apapun yang disekitarnya. Pesta pora makhluk gaib sudah memperlihatkan tanda tanda. Sekelebat bayangan berulang kali ditangkap mata, dan diiringi teriakan amanda yang ketakutan terlebih saat dia merasa berat di bahu sebelah kirinya. tak kuat dia pun berhenti, padahal sunarsih sudah jauh berjalan dan tak mendengarkan pekikan anaknya itu. Telah lama sesudah itu, baru dia terbirit birit mengikuti ibunya.

Semakin jauh, tak ada dikepala sunarsih kecuali menyuruh amanda cepat cepat sebelum semuanya terlambat. Alangkah bahagianya sunarsih akhirnya sampai didepan pintu rumah jam satu lewat lima puluh menit.

Sesegera mungkin sunarsih menemui andini yang diawasi seorang anak kepala desa; teman baik anaknya yang juga janda. Andini akhir akhir ini benar benar dilanda tekanan mental yang berat setelah gugatan cerai dilayangkan suaminya padahal sudah punya anak semata wayang. Kabarnya karena perselingkuh perihal andini jarang pulang kerumah sejak pindah keluar kota.

Amanda, tadi katanya kehausan dan kedapur untuk minum, tak ada pertanda dia kekamar akhirnya sunarsih susul. Seputaran rumah sudah sunarsih cari, tetap saja tak dapat ditangkap matanya. Dia cari kendi yang diletakan amanda dalam tudung saji sebentar ini. Begitu terkejutnya sunarsih, ternyata tak ada kendi, adanya sayak kelapa yang isinya dipenuhi belatung. Akhirnya sunarsih paham, setelah seorang wanita dengan rambut panjang menampakan diri dengen kepala menggantung di langitlangit plafon rumahnya yang berlubang, tertawa lalu tersenyum dengan lingkaran hitam yang kentara pada matanya yang memerah. Sunarsih yang ketakutan langsung menjauh.

Pantas saja amanda hanya diam tak banyak menggerutu, paling dia sesekali ketawa pelan, yang sunarsih tak terlalu tanggapi dengan serius.

Sekarang dimana amanda yang sesungguhnya?

DUPATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang