Bab XIII

230 47 1
                                    

"Dilingkarin mulu kalendernya. Ngitung kapan gajian, ya?"

Pukul tiga belas lewat sedikit. Jika para pegawai di devisi, departemen, kantor, atau bahkan novel-novel kebanyakan menghabiskan makan siang di cafe terdekat atau restoran yang cocok dijadiin spot foto buat diupdate di socmed, gue beserta staf legal lainnya lebih memilih mengisi perut di ruangan tercinta kami ini.

Terkadang, kami memesan makanan dari kantin rumah sakit yang enaknya gak kalah dari tempat makan lain. Tak jarang pula kami menikmati bekal makan siang yang dibawa oleh Mbak Rahma atau Pak Rahim dengan porsi cukup untuk empat orang.

Seperti hari ini, Pak Rahim membawa satu set rantang size jumbo dengan menu nasi putih, tumis kangkung saus tiram, ayam rica-rica, dan beberapa pisang sebagai pencuci mulut. Sederhana, namun ketika semua itu sampai di lidah, rasanya seperti... pulang, berada di rumah.

Hah! Empat tahun menjalani hidup di tanah kelahiran, tapi jauh dari orang tua ternyata membuat gue rindu akan hal-hal semacam ini.

"Biar kalendernya bermotif, Mbak."

Usai makan di meja pantry tadi, kami kembali ke tempat masing-masing, kecuali Pak Rahim. Tiba-tiba saja beliau mendapat kabar bahwa adik iparnya akan menjalani rawat inap di lantai tiga lalu diminta istrinya untuk membantu mengurus administrasi.

"Udah empat minggu ya kamu kerja di sini. Gak kerasa ih," Mbak Rahma memandang kalender di meja gue sambil memasang mimik lesu.

Sehari sebelum mulai bekerja, gue mengkonfirmasi pada bagian HRD bahwa waktu yang gue perlukan di sini hanya dua bulan. Walau mereka sempat ragu dan ingin membatalkan perekrutan, pada akhirnya KaDiv HRD menyetujui dikarenakan staf legal sedang membutuhkan tenaga kerja sembari mencari pengganti gue nantinya. Sedikit info, fresh graduate dan sarjana berpengalaman dengan major Hukum hampir tidak memiliki minat untuk mendedikasikan diri di bidang ini. Atau mungkin, fresh graduate dan sarjana berpengalaman minim pengetahuan akan lapangan pekerjaan yang membutuhkan jasa mereka. Well, itu cuma dugaan gue aja.

Tak hanya orang HRD, tiga orang sedevisi gue mengetahui hal ini. Mereka sempat membujuk agar tinggal lebih lama, namun berhenti ketika gue menjelaskan alasannya.

Ketahuilah, titah Ayah sulit ditolak.

"Kita gak ngikut jenguk iparnya Pak Rahim, nih?" Mas Vernan bertanya dari kursinya sambil menggerakkan kursor ke sana ke mari.

"Pulang kerja aja, kalo sekarang pasti lagi riweuh pindahan dari ruang periksa ke kamar opname," putus Mbak Rahma.

Kita kembali pada kerjaan masing-masing. Selang beberapa menit memusatkan atensi pada monitor komputer, suara memekakkan telinga muncul dari handphone milik Mas Vernan. Untungnya dia tidak mengatur lagu dangdut sebagai nada deringnya. "Kebiasaan banget sih, hape gak dibikin geter aja!" omel Mbak Rahma sekembalinya Mas Vernan dari menerima panggilan.

Detik berikutnya, handphone gue ikut-ikutan menyala dengan id caller pada screennya. Bedanya, handphone gue sudah terset mode vibrate. Melakukan seperti yang Mas Vernan lakukan, gue menuju pantry dengan benda pipih yang sengaja diletakkan di dekat telinga.

"Hallo?" sapa gue pada orang di seberang sana.

"Masih ngantor?"

"Iya, Yah. Ada apa?"

"Ayah cuma ngasih kamu waktu dua bulan, kamu harus inget itu."

"Iya, Yah. Sisa sebulan lagi kan? Kelar urusan di sini Fio langsung nyusul ke sana."

"Ayah yang ke sana jemput kamu."

"Yaudah, gimana baiknya aja."

Gue mematikan panggilan itu sepihak. Gak sopan? Maaf deh, sekali-kali. Sejujurnya, hati sama pikiran gue sudah terlampau lelah menaggapi ajakan, atau bisa dibilang paksaan dari Ayah.

Ketika semester empat dulu, gue sempat mengutarakan keinginan untuk tinggal di ibu kota saja sambil bekerja atau mungkin melanjutkan S2. Reaksi Ayah saat itu berbeda dengan perintahnya yang menyuruh gue untuk ikut menetap di Medan. Beliau mengizinkan keinginan gue pada saat itu, lain hal dengan keputusannya sejak masa menyusun skripsi kemarin.

Sikap Ayah yang keukeuh agar gue ikut tinggal bersamanya dan Mama cukup mengherankan, namun semakin gue bertanya alasannya, semakin memaksa pula pria yang darahnya mengalir dalam tubuh gue itu.

Mengambil air mineral dari dalam kulkas, gue mengistirahatkan diri sejenak sambil memikirkan banyak hal.



...




Back to YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang