1/2
Aku tidak membenci hujan, hanya saja aku benci jika terjebak di dalamnya. Aku benci jika waktuku habis menunggu hujan, atau pilihan dihadapkan dengan aroma pengap baju basah jika tetap nekat melawan hujan. Bukan, dia bukan hanya akan menyerang indera penciumanmu, tapi dia juga akan menembus kulitmu, dan meninggalkan dingin yang akan menusuk tulangmu.
Aku menempelkan pipi ke jendela. Dingin. Hujan masih deras di luar sana, tapi beberapa anak asik bermain bola di halaman sana. Teman sekamarku, Alina masih khusyuk mengerjakan PR nya dari sekolah. Aku,, pikiranku kembali mengelana lagi, menyusuri aliran hujan secara terbalik. Riak nya pada genangan di tanah, kemudian naik menuju rintik-rintik yang sambung menyambung turun dari langit, kemudian aku terbawa hingga ke langit, mataku bertemu awan kelabu yang berarak.
Kamu pikir aku membenci hujan karena alasan-alasan sesepele itu?
Malam itu hujan. Malam dimana lelaki yang selama hampir sebelas tahun ini aku panggil dengan sebutan ayah, pergi meninggalkan rumah dan tak pernah kembali. Malam dimana ayah dan ibu bertengkar hebat. Aku hanya bisa mencuri dengar dibalik pintu kamarku saat kudengar Ibu mulai menangis meraung-meraung, menyebutkan nama seorang wanita. Aku kenal kok wanita yang Ibu sebutkan itu, Tante Nadia. Kadang kalau Ibu belum pulang, Tante Nadia datang ke rumah. Tante Nadia baik & sering membelikanku cokelat & permen, kemudian menyuruhku untuk pergi bermain keluar bersama teman-temanku. Padahal Ibu selalu berpesan sebelum berangkat kerja saat aku masih setengah terbangun di subuh hari, "Raya, pulang sekolah jangan lupa belajar & tidur siang ya." Kemudian beliau mencium keningku & aku mengangguk pelan. Saat Tante Nadia menyuruhku untuk main di luar, biasanya ayah mengangguk tanda menyetujui, berarti aku aman, Ayah tidak akan mengadukanku kepada Ibu. Hoooreee. Kemudian aku akan mengambil sepedaku dan mengayuhnya bersemangat ke rumah sahabatku Joel. Dan aku pulang saat hari sudah sore, mandi, kemudian menunggu Ibu pulang sambil mengerjakan PR.
Tapi, malam saat hujan kala itu tak seperti malam-malam sebelumnya. Ibu bilang paginya, sebelum berangkat kerja bahwa mungkin beliau akan lembur, pulang tengah malam, jadi lebih baik aku tidur duluan saja, tak perlu menunggunya. Siangnya, Tante Nadia datang ke rumah seperti biasa, dan aku pun main seperti biasa, ke rumah Joel. Tapi hari itu hujan, aku terjebak di rumah Joel, tak bisa pulang. Kami menunggu hujan reda, tapi sampai senja tiba, hujan tak kunjung reda. Hingga aku nekat untuk tetap pulang ke rumah. Aku menerobos hujan, dingin, dan mereka curang, bermain keroyokan. Hufftthh..
Sesampainya di rumah, aku melihat Tante Nadia tertidur di sofa, dengan selimut terhampar di badannya dan TV yang masih menyala. Dan ayah, sepertinya Ia sedang mandi, di kamar mandi terdengar suara aliran keran. Aku segera menuju kamarku, untuk mengeringkan diri, kemudian berganti baju. Tak berapa lama, setelah aku selesai berganti pakaian, terdengar suara mobil yang masuk ke halaman. Suaranya mirip seperti deru mobil Ibu, tapi Ibu bilang Ia akan pulang larut karena lembur. Belum sempat aku membuka pintu untuk menyambutnya, aku dengar Ibu mulai berteriak-teriak. Kudengar suara benda jatuh, kemudian teriakan lagi, disusul teriakan Tante nadia, dan sedetik kemudian, suara murka ayah.
Aku mengurungkan niat untuk berlari ke ruang tamu. Aku kembali ke kamarku, sambil ketakutan, kemudian memeluk tubuhku erat karena gemetar. Aku tak tahu apa yang mereka ributkan, tapi Ibu menangis, itu membuat hatiku sangat sedih. Kemudian suara pintu dibuka, kurasa Tante Nadia pergi, disusul kemudian, ayah berjalan ke kamarnya. Masih diiringi tangisan Ibu, ayah keluar kamar dengan membawa koper besar. Aku masih mengintip di balik kamar. AKu terlalu takut untuk keluar. Kemudian Ibu melempar benda apa saja di sekelilingnya yang bisa ia lempar menuju ayah. Namun dari semua tangis & isakan ibu malam itu, bahkan hujan yang deras sekalipun, tak menyurutkan ayah untuk memijakkan kaki keluar rumah. Ibu pasrah, kemudian jatuh tersungkur, sambil tetap menangis.
Tak lama kemudian Bu Narsih datang, tetangga depan rumah kami, disusul Pak Eko, Bu Widia, kemudia Pak RT di lingkungan rumah kami. Semuanya masuk ke rumah mengerubungi Ibu yang masih menangis. Ya, malam itu tetap ramai di rumah kami. Walau malam itu hujan. Dan ayah, aku tak pernah lagi melihatnya.

YOU ARE READING
Tentang Hujan
Short StoryIni tentang hujan, yang kemudian membalut kenangan menjadi secarik rindu.