Bersama Hujan

7 1 0
                                    

2/2

Baik esok-lusa-maupun esok lusanya lagi, ibu kerap kali menangis. Bahkan bengkak sudah menjadi sahabat karib bagi matanya. Aku selalu mengelusnya, bersamanya. Tapi Ibu tak pernah memberikan respon. Jika tak menangis, ia hanya terdiam. Karena itu, Bu Narsih jadi sering membawakan makanan untuk kami. Aku pun terkadang menyuapi Ibu, walau Ibu kerap kali menolaknya dengan mengatupkan mulut erat-erat.

Ibu masih setia pada tangisan dan diamnya. Walau sebulan telah berlalu. Dan hari itu, saat hujan tiba. Sekali lagi. Orang-orang berbondong ke rumahku. Kali ini bersama Om Andi, adik Ibu. Mereka bilang Ibu harus dibawa ke Rumah Sakit. Rumah Sakit Jiwa katanya. Lantas, bagaimana denganku?

Om Andi menghampiriku, dan bilang padaku, bahwa inilah yang terbaik, agar Ibu berhenti menangis. Tidakkah aku kasihan kepadanya? Tidakkan aku ingin dia sehat dan kembali tersenyum? Aku pun mengangguk pasrah. Om Andi masuk kemudian masuk ke kamarku, mengambil baju-baju dari lemariku dan memasukannya ke dalam tas besar. Jika ia akan membawa Ibu ke Rumah Sakit, kemana ia akan membawaku? Aku terlalu takut untuk bertanya. Yang aku tahu Om Andi galak, dan selalu bertengkar dengan Ibu. Om Andi tidak pernah datang mengunjungi Ibu, begitupun sebaliknya. jadi aku simpan saja rasa penasarnku dalam-dalam. Bagaimana jika harus tinggal di rumah Om Andi? Ah, kutepis perasaan itu jauh-jauh.

Lagi-lagi, hujan di hari itu tak menghentikan Om Andi untuk meletakkan tasku di bagasi mobilnya. Kemudian kami berkendara, hampir satu jam setengah dalam diam. Ia hanya bilang, bahwa sekali-sekali akan mengunjungiku, dan berpesan supaya aku jadi anak yang baik. 

Kemudian mobil berhenti di depan sebuah bangunan berpagar tinggi. Om Andi mengeluarkan payung, kemudian turun dari mobil & berlari menuju bagasi, untuk mengambil tasku. Melewati pagar dan berdiri di depan pintu bertuliskan "Pengurus". Aku tak berminat mendengar percakapan mereka, aku sibuk memperatikan lingkungan sekitarku. Ada satu bangunan lagi yang terpisah. Bangunan itu memiliki banyak jendela, mirip kamar-kamar. Kemudian mereka meyudahi pembicaraanya. Dan Om Andi pamit pergi. 

Di hadapanku berdiri seorang wanita paruh baya, beliau memperkenalkan diri sebagai Bu Aisyah. Beliau membantu membawa tasku dan mengantarkan aku bertemu dengan teman-teman, yang kini, aku menghabiskan hari bersama mereka. Ah, aku tiba-tiba teringat Joel. Bahkan aku belum sempat berpamitan dengannya. 

Aku kembali terkenang hari hujan itu. Dua tahun yang lalu. Ada rasa sesak yang menyeruak dalam dadaku, memaksa netra ini untuk tak mau kalah mengeluarkan tangisan deras melawan hujan. Tapi ah, tidak. Aku punya Bu Aisyah sekarang, aku punya Alina, dan teman-teman lain. Yang aku yakin, mereka tak kalah menyedihkannya ketimbang aku. Di Panti Asuhan ini.

Aku bangkit berdiri, kemudian menghampiri Alina. "Ya,,yaa,,anak rajin. Aku ga mau kalah ah" candaku. Alina menjulurkan lidahnya kemudian tawa kami berderai. Aku mengeluarkan buku dari tasku, dan kemudian asa membuncah dalam dadaku. "Bu, tunggu Raya ya. Saat Raya dewasa nanti, saat Raya sudah bisa menghidupi diri sendiri, Raya akan memastikan selalu berada di sisi Ibu. Kita pulang Bu. Bahkan jika rumah kita sudah tidak ada, kita akan membangun rumah kita sendiri nantinya ya Bu." doaku pelan bersama iringan suara rintik hujan.


You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jul 25, 2018 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Tentang HujanWhere stories live. Discover now