Kakak Tingkat

95 11 0
                                    

“Aku tau, inginmu adalah memutar waktu. Tapi inginmu itu hal yang tidak mungkin. Kalau saja waktu itu kau tidak berjalan tanpa meninggalkanku di belakang, kau tidak perlu selelah ini berlari menujuku.”

__________

Acara kuliah umum dan selamat datang mahasiswa-mahasiswi baru sudah selesai 15 menit yang lalu. Lautan manusia disekitar lambat laun berkurang, Mahasiswi baru terlihat membangun keakraban dengan seniornya. Anandita masih setia duduk di bangkunya, barisan paling belakang. Meskipun barisan didepannya sudah dari tadi bubar tidak beraturan. Dita menghembuskan nafas, kemudian ujung matanya menangkap siluet pria yang tengah berbincang dengan beberapa mahasiswi, Dita segera pura-pura sibuk dengan ponselnya tapi percuma saja karena Dimi sudah melihatnya. Kemudian menandatangi Dita, menarik kursi plastik yang tak jauh darinya lalu duduk berhadapan dengan juniornya itu.

“Mas Dimi pokoknya jangan sampai macam-macam, ini bukan SMA Widya lagi, jangan bikin aku malu.” ucap Dita mewanti-wanti pria itu, pasalnya Dimi selalu tidak kenal tempat untuk melakukan sesuatu yang menurut Dita memalukan untuknya.

“Jangan ge-er kamu Ta, orang cuma diem.”

“Iya diem, kamuflase. Nanti keliataan aslinya. Sok manis banget depan mahasiswi, tebar pesona kayak apa.”

“Tumben cemburu.”

“Gak padahal, itu maumu.” Dita mengalihkan pandangannya, dia tidak sadar bahwa beberapa mahasiswi sedang menatapnya tidak suka.

Dimi tersenyum, mereka terdiam lama sampai bunyi perut Dita memecahkan keheningan, membuat Dimi tidak bisa menahan tawanya. “Cantik-cantik bunyi perutnya besar.” setelah mengucapkan itu dia dihadiahi getokan dikepalanya.

“Mas Dimi sembarangan.” Dita cemberut, Dimi lalu mencubit pipi Dita membuat Dita buru-buru mengelus pipinya kemudian balas mencubit pinggang Dimi.

“Banyak orang disini mas.” sambung Dita yang membuat Dimi bangkit dari duduknya dan menarik Dita untuk ikut bangkit.

“Eh Mas Dimi, mau kemana?”

“Ketempat sepi kan?”

“MAS DIMIIII.” batas kesabaran Dita habis, dia berteriak keras sekali sampai membuat semua mata fokus pada mereka berdua, wajah Dita memerah membuatnya bersembunyi dibalik pinggang Dimi. “Mau pulang.” rengek Dita yang hanya dihadiahi cengiran oleh Dimi. Ingin sekali Dita meledakkan bom atom diatas kepala seniornya itu.

Akhirnya dengan menahan malu melewati orang-orang yang masih menatapnya, Dita berhasil menghembuskan nafas lega setelah berada diatas motor Dimi.

“Dita? Kamu kesambet apa? Tumben diam?” tanya Dimi disela-sela laju motornya.

“Gak ihh, siapa yang kesambet. Ngarang banget.”

“Ohyah, tadi shubuh aku gak ngeliat kamu di masjid.”

“Aku ketiduran mas, bangunnya pas bapak pulang dari masjidnya jadinya shalat dirumah.”

“Pasti gak ngaji, kan yah?”

“Iya, soalnyakan buru-buru, Kuliah umumnya kan kebangetan paginya.”

“Makanya Ta, jangan begadang. Kamu itu jomblo, begadang buat siapa sih.”

“Mas Dimi, soktau gini-gini banyak chat loh.”

“Kepedean. Mana ada mau chat sama kamu kalau kamu aja gak mau berhenti bahas eskrim kalau kita gak bilang 'Iya, besok aku traktir'.”

“Wahai mas Aadinath Dimitri, jangan suka soktau jadi orang.”

“Dasar.”

“Btw mas Dimi, kenapa suka sekali sih deket-deket aku padahal udah kularang?” Dita merapikan rambutnya yang terkena hembusan angin, Dimi masih belum menjawab, dia menunggu suara bising kendaraan lain mereda.

“Dulu siapa yang punya beribu alasan buat disampingku meskipun aku bilang mau sendiri?”

“Hahahhahahahaha.”

“Masyaalllah Dita, kamu ketawa?” tanya Dimi sedikit berteriak.

“Hidup itu berputar yah mas Dimi? Kayak naik bianglala, kamu kadang dibawah kadang diatas.” jawab Dita, kemudian mereka berdua diam. Membiarkan lagi-lagi suara bising kendaraan meredam perasaan mereka.

“Makasih yah.” ucap Dita kemudian.

“Buat apa?”

“Buat tetap disampingku meskipun sudah kusuruh pergi.”

“Emang cewek jaman sekarang gtu kan? Bilangnya gak butuh padahal butuh, bilangnya gak apa-apa padahal ada apa-apanya.”

“Gak semuanya yah mas Dimi.”

__________

Setelah melewati terjangan rintangan yang bernama Dimitri, Dita akhirnya bisa menyantap semangkuk eskrim yang disediakan di kafe Roy, Dimi dan Dita sebelumnya sudah mampir di warung mie ayam tapi tidak lengkap rasanya kalau Duta tidak menyantap eskrim dan meluapkan kekesalannya pada Roy—abang-abangannya itu yang pernah menjadi korban perasaan Dita sama seperti Dimi— tentang betapa tengilnya Dimi itu.

Dimi yang duduk satu meja dengannya malah tenang menyantap kopi pesannya, sesekali melantunkan lagu yang tidak jelas didengar Dita.

“Dimi, dikampus lo udah naik tingkat yah?” teriak Roy yang sibuk mengurus beberapa karyawannya.

“Iya nih, tapi percuma kalau gue tingkatannya masih sama kayak lo. Abang-abangan doang.” jawab Dimi yang membuat Dita terbatuk-batuk merasa terang-terangan disindir.

“Atau gue langsung lamar aja yah Roy.” sambungnya sambil memperhatikan gelagat Dita, tapi gadis itu sekarang tenang-tenang saja menyantap eskrimnya.

“Wahai Anandita Tia Syahira, apakah Dimitri didepanmu ini kurang manis daripada eskrim?”

Dita diam.

Dimi akhirnya menyerah dan menghampiri Roy yang sibuk mencatat sesuatu.

“Gitu tuh Dim, yang buat gue nyerah. Pertahannya kokoh banget, gak bisa dihancurin kalau bukan maunya.” ucap Roy seakan mengerti keresahan temannya yang bernasib sama dengannya.

“Makanya gue selalu bilang, dulu lo nyia-nyiain tambang emas. Sampai gue mikir, itu Dimtri sekeren apa sih bisa bikin si Dita luluh. Ehh tau-tau orangnya bego, dikejarnya pas lagi lari-lari, dulu diem gak disamperin.”

“Cerewet lo bang, bukannya dikasih saran malah dibikin tambah nyesel.”

“Gue cuma bisa bilang semangat, lo perlu hati yang berlapis-lapis buat ngeluluhin Dita.”

Dimi menghembuskan nafasnya pelan, kenapa dulu dia malah tidak peduli dengan Dita? Kenapa saat Dita benar-benar bisa dijangkau, dia malah enggan melakukannya. Giliran Dita melepas dirinya, berlari jauh. Dia malah baru ingin menggapai gadis itu. Benar kata Roy, mengejar seseorang yang berlari menjauhinya itu pekerjaan yang sulit

______

Thanks for reading 💕💕🙏

Untuk Dimitri Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang