Prologue

2K 251 93
                                    

Siapa yang tidak mengenal dongeng?

Dongeng memang diartikan sebagai cerita pengantar tidur anak-anak. Sebelum memasuki mimpi indah, ada baiknya para anak mendengar kisah panutan di masa depan yang mana bagian baiknya dipetik dan bagian buruknya dihindari.

Dongeng sebenarnya berperan penting, namun banyak anak-anak yang tidak mendengar orang tuanya bercerita demikian. Itu hak mereka yang tidak dapat dipermasalahkan. Sebab dongeng hanyalah cerita, manakala sebagian orang berpendapat jika dongeng itu hidup.

Dongeng juga sering disebut-sebut sebagai kisah bohongan. Padahal, selalu ada makna tersendiri yang terselip dari sebuah dongeng. Entah itu kebahagiaan, keresahan, isak tangis haru, kedengkian, kesialan, juga kesedihan. Berbagai jenis perasaan bercampur aduk dan anak-anak senantiasa menyambutnya dengan riang. Terkadang sangat berpengaruh saat mereka dewasa nanti. Inilah yang para orang tua takutkan.

Seharusnya dunia dongeng itu indah. Anak-anak dapat menjadi siapa saja yang ia mau, melewati masa kecilnya dengan warna-warni cerita, dan mereka dapat belajar banyak hal. Kenyataan bahwa dongeng diambil dari beberapa pesan di dunia nyata hanya sedikit yang menyadarinya. Tidak semua orang menyukai dongeng, sehingga mereka tidak ingin memperkenalkan satu pun dongeng pada anak-anaknya seolah menutup semua tentang dongeng dari peradaban. Bagi mereka, dongeng itu harapan palsu yang terlalu tinggi; kisahnya hanya membawa kebodohan.

Suatu hari─dahulu kala, si pemuda pecinta dongeng pernah bertanya kepada mereka yang membenci dongeng. Cukup sulit memang, sebab pemuda ini harus menempuh perjalanan panjang dan rela menjadi bahan cacian. Tetapi semua itu ia lakukan demi mendapatkan sebuah jawaban.

"Katakan padaku, kenapa kalian membenci dongeng?"

Seorang remaja menjawab, "Ibuku bilang, dongeng itu pembodohan. Tidak ada yang namanya Tudung Merah dimakan serigala atau apel yang dapat menidurkan Putri juga makluk kecil bernama kurcaci." Ia berhenti sejenak, terasa ada getir dalam suaranya. "Tidak ada yang namanya keajaiban."

"Wahai Saudaraku, kau masih cukup muda. Aku tahu dulu kau begitu menyukai dongeng, namun ibumu melarangnya." Saat berujar demikian, sang remaja tadi menjadi resah. Si pemuda kembali melanjutkan, "Tak semua dongeng adalah pembodohan. Mereka adalah kisah indah, yang bertujuan untuk menghibur dan memberi inspirasi. Apa yang salah?"

Sorakan tak terima dari mereka yang membenci dongeng terdengar. Berbagai cacian keluar, bahkan ada yang mengangkat benda tajam sembari mengatakan: bunuh dia. Tidakkah itu mengerikan?

Sebab tidak ingin perpecahan terjadi, si pemuda akhirnya mengalah dan memutuskan untuk pergi. Dalam perjalanan pulang, ia selalu melewati hutan. Sedikit merasa lelah, si pemuda bersandar pada salah satu pohon. Ia memikirkan hari itu yang terasa berat. Bagaimana susah payahnya menuju tempat orang-orang tinggal dan keberaniannya berbicara di depan masyarakat, semua itu sia-sia. Lalu, keajaiban tak terduga datang. Ia sampai mengedipkan matanya berkali-kali untuk memastikan.

Bahwa kini ada peri di hadapannya.

"Hai Manusia, aku merasakan ada keresahan di hatimu. Benarkah begitu?"

Masih tidak percaya, si pemuda hanya mengangguk patah-patah. Mata cokelatnya menatap kagum sang peri yang bertubuh kecil seperti yang diceritakan. Kepakkan sayapnya indah, parasnya cantik, dan gaun yang dikenakannya putih. Di sekelilingnya ada titik-titik kecil yang membuat sang peri bercahaya.

"Kenapa demikian, Manusia?" Sang peri bertanya, ia terbang mendekati si pemuda.

"Banyak di antara kami yang membenci dongeng. Padahal," si pemuda menjelaskan, "dongeng adalah kisah indah. Mereka berkilah tidak ingin termakan angan. Bukankah … kita berhak untuk bermimpi?"

"Itulah yang membuatmu resah, Manusia?"

Si pemuda kembali mengangguk. Ia masih tidak percaya, peri itu sungguhan ada. Sudah berkali-kali ia mencubit pipinya, hasilnya ia sama sekali tidak terbangun dari mimpi. Rasanya si pemuda ingin menunjukkan pada semua orang bila peri itu ada di sini, di hadapannya!

"Tak usah kau pedulikan sebab itu artinya, mereka tidak punya kehidupan yang berwarna, tidak mempercayai keajaiban kecil dari sebuah cerita. Jika keresahan hatimu masih ada, bagaimana jika kau menyelami dongengmu sendiri?" Sang peri mendekat dan terbang di depan wajah si pemuda.

"Dongeng itu nyata. Di hutan ini ada sebuah kisah tersembunyi tentang keluarga nenek penyihir dan kakek penyihir. Masing-masing saling menaklukan hutan dan kota," cerita sang peri. Ia tersenyum hangat. "Apa kau ingin mendengarnya? Tidak banyak yang mengetahui dongeng ini. Katanya memiliki kisah inspiratif jelek. Bagaimana menurutmu? Apa kau akan berpikiran sama?

"Bahkan dongeng terburuk pun punya sisi baiknya." []

a/n: Sekadar penjelasan, judul ceritanya memang Which Town

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

a/n: Sekadar penjelasan, judul ceritanya memang Which Town. Which yang artinya mana. Berarti artinya, Kota Mana. Atau aku sendiri mengartikannya sebagai Kota Bagian Mana atau Kota Yang Mana.

Bukan typo Witch yang artinya penyihir, jadi artinya Kota Penyihir. Bukan hehe :3 Kalau judulnya begitu, enggak ada kesinambungan dengan alur yang sudah aku rancang ntar XD     
Baca blurb di kalimat terakhir; Namun tidak ada yang tahu kota bagian mana.

Untuk meluruskan kebingungan. Semoga suka dongeng fantasi ini :D

Levi's wife,

Lyn

Which TownTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang