9. Ditinggalkan (Bukan) Membuat Si Penyihir Patah Hati

107 28 1
                                    

SI NENEK yang tertuduh sebagai penyihir akan segera dieksekusi mati tiga hari mendatang atas dekrit Tetua Frank. Tubuh malang wanita keriput itu babak belur setelah dihadiahi bogem mentah sana sini, barangkali tulang-tulangnya menjadi bengkok dan banyak yang patah. Tidak ada yang peduli pada jeritan pembelaan si nenek: bukan aku penyihirnya! Tentu, pasang mata para penduduk yang berkerumun dan menyaksikan kala itu sudah cukup merekam bukti. Mereka tidak menaruh rasa hormat pada orang tua, penyihir tetaplah penyihir yang akan selalu menjadi tokoh antagonis dalam hidup mereka.

Biasanya hukuman mati itu wajar dijatuhkan pada siapa saja yang mereka sebut penjahat. Akan menjadi kelewatan bila garis keturunannya juga dijatuhi hukuman serupa; anak beserta cucu si nenek, mereka akan mendampinginya mati. Padahal bisa saja beranggapan seorang diri menyamar. Sayangnya keluarga si nenek mati-matian membela; memohon penuh air mata dengan bibir mencium tanah hanya supaya meyakinkan nenek mereka bukanlah penyihir. Nah, siapa yang tidak akan curiga? Antisipasi keselamatan macam apa itu?!

Namun bagi Nizsm, tidakkah mereka─terutama para Tetua─bodoh? Para penyihir itu licik, dan tentunya mereka tidak akan menyerahkan kepala pada musuh. Para penyihir selalu diselimuti kebohongan-kebohongan tingkat S. Melihat bagaimana Tetua Frank 'mengorbankan' manusia lain, bukankah sebagai sesama manusia gelar protagonis mereka telah sirna? Sungguh, kota Vurch betulan kehilangan kewarasan. Semacam 'kutukan' dengan cepat membuat mereka tak lagi menjadi manusia.

Biasanya Nizsm tidak menampilkan ketertarikan yang kentara. Belakangan drama di kota Vurch semakin seru dan memanas. Ia jadi ingin memastikan alurnya tidak keluar jalur. Tanda terima kasih dikalungkan kepada Tetua Jefferson; akhirnya Nizsm menemukan sesuatu yang menarik sepanjang pengawasannya terhadap kota.

Benang sihirnya yang bersemayam di tubuh para preman sudah ia tarik kembali. Pelan-pelan dan tak terlihat; tidak ada yang menaruh atensi pada benang-benang bercahaya yang mengawang tipis (tapi serius, dikarenakan jumlahnya ada banyak seharusnya bisa dilihat). Mereka dikacaukan oleh penyihir yang menyusup di kota. Tanpa diselidiki lebih lanjut, atmosfer kemarahan langsung memuncak. Mereka percaya begitu saja jika nenek itu adalah penyihir.

Nizsm teringat seseorang, penyihir yang sama sepertinya, tetapi sudah bukan bagian dari mereka lagi. Kira-kira, ke mana perginya dan apa yang sedang dilakukannya? Nizsm selalu bertanya-tanya akan itu, kadang kala ingin pergi mencari tahu sampai menemukan ujung perjalanan berupa jawaban memuaskan. Namun tugas ini mengekangnya, ia tidak bisa melepaskan tanggung jawabnya dari kota.

Benih kebencian lahir di dalam dirinya. Ia tidak suka ketika penyihir lain merasakan kebebasan sementara kebebasan miliknya diborgol. Seluruh penyihir adalah satu kesatuan, mereka harus bersama-sama menggenggam erat takdir yang diberikan sebagai sesama penyihir, bukan malah berlari ke arah sebaliknya. Meski demikian, Nizsm tidak bisa mengubur petuah-petuah bermanfaat darinya, yang menjadikan Nizsm pintar, kuat, dan berbakat. Petuah itu merupakan sebuah harapan yang tanpa disadari selalu ia jaga. Bagian masa lalu inilah yang membungkus hatinya seperti es.

"Kau tampak gelisah," ujar sebuah suara dari jendela. "Tidak bekerja di ladang, Sayangku?"

Nizsm beringsut bangun dan menengok ke asal suara. Seekor monyet, menengoknya di siang bolong, tanpa salam yang menyenangkan. Ia menggertakkan gigi. "Dikirim kemari, eh?"

"Setidaknya izinkan aku masuk," rengek si monyet muram. Seperti biasa menganggap rumah Nizsm juga miliknya, meski faktanya hanya menumpang. Nizsm membukakan jendelanya, dan ia masuk penuh semangat. Ekornya bergerak ke sana kemari dengan cepat. "Kali ini kau pasti akan mendengarkanku! Aku yakin kau begitu tertarik."

Which TownTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang