11. 1001 Hal yang Anak-Anak Tak Sukai Mengenai Hutan

42 19 1
                                    

Ps. Maafkan aku diksi di chapter ini sangat aneh. But happy reading ^^

**

ASING. MEMUSINGKAN. Dua kata tersebut telah mendefinisikan hutan secara utuh di mata Allysa dan Ray. Kini, sedikitnya persepsi mereka tentang hutan telah berubah─seperti harapan dan ekspektasi tak sampai cepat membelokkan keyakinan. Seharusnya sejak awal, anak-anak manusia memang tidak boleh berada di hutan tanpa penyihir. Samar-samar mereka ingat (dari rumah pohon atau kota, yang mana pun itu sama sekali tak penting) telah dicecoki dongeng-dongeng kuno betapa mengerikannya hutan. Barangkali dari Shaun, tetapi tampaknya tidak juga. Tiga tahun kemudian, ia memperbolehkan bermain di hutan.

"Itu kan, karena kau memaksa!" sembur Allysa galak.

"Aduh, iya, iya!" ringis Ray, mengusap-usap telinganya. Jika tak mau kian tersesat dan menjadi tambah cupu, perdebatan tak berbobot ini harus dihentikan.

Tautan pegangan tangan mereka terlepas. Kini kaki-kaki mereka mesti melangkah hati-hati, sementara fokus penglihatan ditajamkan demi menjaga diri kalau-kalau salah mendaratkan kaki. Tanah yang tertutupi daun-daun kering melembek (kadang miring kiri kanan), pohon-pohon kian membesar dan simpang siur, ranting-ranting menusuk kulit, akar-akar besar yang menyembul, lumpur lengket menjijikkan, sarang laba-laba dan para serangga, semak-semak belukar. Segalanya tampak gelap, berbahaya, menyeramkan. Sungguh berbeda dari apa yang selama ini mereka lihat (barangkali Shaun hanya membawa mereka ke daerah aman).

"Kita belum pernah ke sini," gumam Allysa. Tangan kirinya menyibak dedaunan. "Apakah orang-orang kota menghilang karena tenggelam di lumpur atau rawa?" tebaknya ngeri. "Lebih parah lagi, diburu hewan ganas?"

"Ayolah," keluh Ray, "kita bisa mengatasi ini."

Si kakak mangut-mangut. Biarpun berbekal lampu corong, prinsip berhemat tertanam di otak mereka. Setidaknya kegelapan di siang hari tak gelap-gelap amat, malahan melindungi dari terik matahari. Begitu malam menyergap, saat-saat itulah yang riskan (bahkan mereka tidak membawa tenda, memangnya mereka punya?). Tujuannya sekarang cuma: sebelum gelap mesti mencapai daerah lain yang terbuka, atau bila beruntung, mencapai kota.

Setiap langkah seolah semakin mendekatkan mereka pada malapetaka. Ray enggan memikirkan hal tersebut lebih jauh. Terkadang apabila suatu gagasan atau kemungkinan selalu dikhawatirkan, kepercayaan diri akan perlahan lenyap dengan sendirinya. Ray sudah diselimuti sedikitnya rasa takut. Padahal jelas-jelas ia nekat angkat kaki ke hutan, tetapi persiapan nol besar.

Mereka sama sekali tak terlatih bertahan hidup di alam liar. Rumah pohon mereka berdiri kokoh di wilayah aman, tentunya atas kerja keras Shaun, dan menjadikannya tampak menyenangkan. Seharusnya mereka menyadarinya sejak awal.

"Ray, bolehkah kita beristirahat sebentar? Kakiku pegal sekali," rintih Allysa lemah. Ia membungkuk dan memegangi lututnya.

"Jangan dulu. Kita harus mencapai tempat ter"─ucapannya terhenti, Ray mendadak waspada─"kau dengar itu?" Ia berbisik.

Allysa balas berbisik takut-takut. "Dengar apa?"

"Uhm, aku tak yakin, tapi bisakah kita jalan lebih cepat?" Ray segera menarik tangan Allysa, akibat dari itu, mereka hampir tergelincir.

"Pelan-pelan!" pekik Allysa gemas.

Namun, Allysa akhirnya mendengar apa yang dimaksud Ray. Di antara pohon-pohon, sekelebat bayang hitam bergerak-gerak. Ada yang datang. Mereka menahan napas dan menyipitkan mata, berusaha memastikan bayangan apa itu. Bayangannya berisi serta besar tapi tidak setinggi manusia, dan ada lebih dari satu (sekiranya tiga), mengambil ancang-ancang.

Ray kembali menarik tangan Allysa untuk membawanya lari ketika bayangan-bayangan itu juga lari dan menyeruduk.

Babi hutan.

Which TownTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang