Prolog

2.6K 167 27
                                    

Pernikahan.

Satu hari besar yang membahagiakan. Acara prosesi yang sakral dimana sang mempelai pria berdiri di atas altar menunggu sang permaisuri dengan senyum lebar bahagia. Saling mengikrarkan janji suci. Berciuman diiringi tepuk tangan gembira para saksi. Dan menjadi raja dan ratu paling bahagia diseluruh bumi. Seharusnya...

Hari ini. Harry Potter sang pahlawan perang, satu diantara the golden trio. Resmi akan mempersunting Ginerva Weshley, adik dari sahabatnya. Semua kalangan komunitas sihir menyambut bahagia kabar ini.  Mereka bahkan sudah menerka-nerka seperti apa anak keduanya kelak. Pasti akan menjadi anak yang tangguh, pemberani dan pintar seperti gabungan dari keduanya.

Namun yang Harry rasakan adalah gelisah, bukan karena gugup melainkan sesuatu perasaan yang membuatnya goyah. Ragu. Harry ragu dengan keputusannya sendiri. Apakah ini keputusan yang benar? Ginny adalah gadis baik, manis, cantik dan pemberani seperti dirinya. Harry menyayangi Ginny sejak tahun keduanya dan mulai menyukainya di tahun ke enam. Menjalin hubungan spesial hingga Harry memutuskan mengakhiri hubungan mereka tepat saat pemakaman Dumbledore. Dan Harry menjalin hubungan lagi dengan Ginny usai perang berakhir. Ia menyukai Ginny. Sangat. Ia mencintainya. Harry ragu.

Harry mematut dirinya di cermin. Duduk di kursi meja rias yang terbuat dari kayu mahoni. Dengan ukiran rumit bunga-bunga. Bayangan pria dewasa berkacamata bulat yang tidak bisa menutupi kilau hijau cemerlang dibaliknya, ukiran wajah yang tegas, dagu persegi dan wajah yang bersih menatap balik dirinya. Harry tampak tampan dengan tuxedo putih silver yang dipesan khusus dari Madam Malkin membungkus dada bidangnya. Wajah yang bersih. Rambut yang tertata rapih (Terimakasih untuk Hermione yang menemukan mantra untuk membuat rapih rambutnya). Tapi semua itu tak mampu menutupi raut kegelisahannya. Gelisah karena rasa bimbang yang menyerangnya tiba-tiba. Bagaimana jika ia tidak bahagia nantinya? Bagaimana jika dia justru jatuh cinta pada seseorang setelah menikah? Bagaimana jika bukan Ginny orang yang selama ini mendiami hatinya?

Pertanyaan-pertanyaan itu terus bergejolak dikepalanya.

"It's time Harry."

Hermione muncul di pintu kamar riasnya dengan ekspresi wajah bersemangat. Senyumnya memudar melihat raut datar Harry, tanpa senyum bahagia, tanpa binar semangat di matanya yang seharusnya terlihat pada semua mempelai. Ini hari bahagianya, seharusnya Harry tampak bahagia.

"Harry?" Hermione bertanya ragu. Ia menutup pintu dan mendekati Harry.

"Mione."

"What's wrong."

Oh. Inilah Hermione. Dia bisa langsung memahami perasaannya dengan hanya melihat saja.

"Never mind."

Hermione merengkuh pundak Harry. Matanya memandang pantulan Harry dicermin. "Tell me Harry. Kau tampak tak bahagia padahal hari ini adalah hari pernikahanmu. Kau seharusnya berbahagia seperti pasangan pengantin lainnya."

"Aku bahagia Hermione." Harry menghela napas. "Aku bahagia bisa menikahi Ginny. Bisa membuatnya bahagia, membuat Arthur dan Molly bahagia...

"Dan kamu?" Hermione menyela penjelasan Harry yang terdengar dibuat-buat. Harry tak langsung menjawab. Raut wajah yang terpantul dicermin bukanlah raut wajah bahagia seperti yang ia katakan. Ia tampak tengah berpikir, mencoba mengorek perasaannya.

"Harry?"

Mata Harry terpejam sesaat dan kembali membuka menampakan sinar hijau yang mengatakan keraguan pemiliknya.

"Mione. Apakah ini rasanya menikah?"

"Well. Aku tidak tahu. Aku belum pernah menikah sebelumnya jika kau lupa." Hermione menjawab dengan nada humor. Harry tersenyum kecil. "Apa yang kau rasakan Harry?"

you should be mineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang