Khoirunnisa 1 ~ Fatimah Azzahra

21 0 0
                                    

Namaku Khoirunnisa, orang sering memanggilku Nisa, ustadzah Nisa begitulah santri-santri disini memanggilku. Gelar ustadzah aku dapat setelah aku bekerja sebagai guru BK (bimbingan konseling) di sebuah pesantren kecil yang terletak di pelosok daerah tempat tinggalku, pesantren Al-inayah. Pesantren Al-inayah tergolong pesantren yang sangat kecil, kian tahun santrinya semakin sedikit, bahkan di tahun ajaran baru yang lalu hanya sekitar 30 orang saja yang mendaftar, 10 orang untuk tingkat Aliyah/SLTA dan 20 orang tingkat Tsanawiyah/SLTP.

Kadang aku sedih melihatnya, betapa sedikitnya minat masyarakat untuk memasukkan anak-anak mereka ke pesantren ini. Namun mereka juga tidak salah, sebagai orang tua mereka juga menginginkan sekolah yang terbaik untuk anak-anak mereka. Banyak para orang tua di daerahku lebih memilih menyekolahkan anaknya ke kota, tentu itu kabar yang baik, tetapi apakah pesanteren ini harus redup dan mati perlahan. Minimnya prasarana dan kurangnya tenaga pendidik di pesantren ini adalah faktor utama yang menjadi penyebab kurangnya minat masyarakat. Dan disinilah aku, meski banyak yang menentang keinginanku, banyak mengolok-olok di belakangku aku akan tetap berjuang untuk pesantren ini, aku masih memiliki harapan besar untuk pesantren ini bangkit dan semakin diminati.

Sebagai guru BK (bimbingan konseling) setiap hari ada saja santri yang datang menemuiku, ada yang sekedar ingin curhat, ada yang ingin meminta pendapat bahkan tak sedikit yang datang karena ulah nakal mereka. Dan ada salah satu santriwati yang sangat menyita pikiranku, namanya Fatima Azzahra. Nama yang sangat bagus bukan, tetapi sayang namanya tak sebagus reputasinya di pesantren ini. Bagaimana tidak, sejak tiga bulan lalu dia pindah ke pesanteren ini ada saja ulahnya, hampir setiap hari ia dapat teguran dan masuk ke ruanganku. Mulai dari tidur saat jam pelajaran, bolos tanpa alasan, berkelahi dengan santri lain dan yang terakhir dia menampar salah satu guru yang berujung dia harus berhadapan denganku lagi.

Lima menit lagi adalah jadwal pertemuan kami, setelah pagi tadi dia membuat kehebohan dengan menampar guru bahasa Inggris yang mengajar di kelasnya. Kutarik nafasku sejenak lalu membuangnya perlahan, kepalaku berdenyut-denyut memikirkan bagaimana lagi aku harus membimbing santriwati yang satu ini. Seharusnya dari sekian banyak ulah yang dilakukannya sudah sepantasnya dia dikeluarkan dari pesantren. Tetapi aku masih optimis dia akan berubah lebih baik, hanya mungkin usahaku masih belum begitu maksimal. Selain itu sudah 3 kali ia dikeluarkan dari sekolah, kemungkinan sudah susah untuk mencari sekolah lagi untuknya apalagi tiga bulan lagi ujian kelulusan.

Tok...tok..tok...

Terdengar suara ketukan pintu, setelah dua puluh menit aku menunggu. Dia telat lima belas menit batinku. Bahkan untuk bertemu denganku saja dia kembali melakukan kesalahan.

"Masuk Fatimah." Ucapku pelan sambari mengatur nafas berharap emosiku segera mereda. Astagfirullahaladzim berkali-kali aku beristighfar di dalam hati, tidak baik menghadapi anak sepertinya dengan emosi yang meledak-ledak, sebab yang ia butuhkan adalah pemahaman atas tindakan yang ia lakukan.

"Maaf ibu Fatimah telat, tadi ke kantin dulu." Terlihat jelas rasa bersalah di matanya, mungkin ia begitu sangat lapar sehingga lebih dahulu mengisi perutnya sebelum menemuiku. Baiklah kali ini aku harus mencoba memahaminya lagi. O ia tentang panggilannya kepadaku, ia belum terbiasa dengan panggilan ustadzah dia masih nyaman dengan panggilan ibu, tidak masalah nanti perlahan dia akan bisa merubahnya.

"Duduklah Fatimah, ustadzah sudah menunggumu sejak dua puluh menit yang lalu." Ucapku dengan penuh penekanan di setiap kata-katanya.

"Maaf bu, tadi aku sangat lapar, maaf" gumamnya pelan hampir tidak terdengar.

"Baiklah untuk kali ini ustadzah memaafkan keterlambatanmu, karena alasanmu sedikit masuk akal. Ibu hanya ingin memberikanmu ini". Aku memberikannya amplop berwarna coklat kepadanya. "Ini surat panggilan untuk orang tuamu, kau bisa memberikannya minggu ini saat pulang ke rumah." Satri-santriwati yang ada di pesanteren ini memang diwajibkan tinggal diasrama, hanya di hari minggu saja di perbolehkan pulang kerumah itupun tidak boleh menginap, kecuali libur semester, atau libur panjang lainnya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 30, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

KHOIRUNNISATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang