Prolog

173 31 39
                                    

Rembulan mengintip dibalik ranting-ranting pepohonan, menyorotkan cahaya temaram pada hutan di bawah naungannya. Suasana sunyi senyap, bahkan binatang malam pun ikut bungkam. Sepasang remaja berdiri memasang kuda-kuda dengan saling menempelkan punggung. Di tangan masing-masing, sebilah keris dengan pendar kuning keemasan pucat menjadi penerangan sekaligus senjata yang siap menyabet musuh kapan saja.

Napas mereka menderu di tengah keheningan. Bunyi dedaunan kering yang remuk di bawah kaki-kaki mereka membuat suasana semakin mencekam.

Tiba-tiba bunyi gemeretak ranting-ranting patah disertai embusan angin dingin menjadi lebih kencang berasal dari salah satu sudut hutan. Sontak kedua remaja itu menengadah pada sudut hutan yang mereka duga sebagai punca suara. Bulu kuduk keduanya serempak meremang. Namun, dari arah yang tak disangka-sangka, dua buah bola api seukuran buah kelapa melesat cepat di udara menyasar kedua makhluk itu.

"AWAS!" Dharmawangsa 1 sebagai pemuda pertama yang menyadari kesalahan mereka, berteriak sembari mendorong tubuh rekannya kasar ke arah semak-semak saat sebuah bola api terbang menukik. Keris pemuda itu mencoba melibas banaspati itu dengan sekali ayunan cepat, tetapi luput.

Dharmawangsa 2 bangkit seraya menepis kasar kotoran yang menempel di tubuhnya akibat tersuruk ke semak-semak. Gadis itu mendelik marah pada rekannya. Sedikit perasaan tak terima terbesit dalam benaknya kala itu. Namun, saat ia menyadari alasan dibalik perilaku seenaknya Dharmawangsa 1, kemarahannya menguap tanpa jejak. Pemudi bersurai panjang sewarna malam itu bangkit dan mengambil ancang-ancang untuk menyerang.

Dengan keris Bethok tergenggam, Dharmawangsa 2 melompat ke udara, lantas menghujam turun. Sabetan ujung kerisnya membuat sobekan kecil pada bola api yang nyaris membakar rekannya. Dalam sepersekian detik, lidah api yang berkobar dari tubuh makhluk itu seketika lesap, memecah menjadi kepulan asap tipis. Bola hitam gosong jatuh menggelinding pada semak-semak di bawah kaki mereka.

"Nyaris saja!" Dharmawangsa 1 mengesah lemah. Lengannya menyeka pelipis yang berkeringat. Tatapannya beradu sesaat dengan rekan perempuannya. Sementara Dharmawangsa 2 malah membuang muka. Rupanya gadis itu masih merasa dongkol karena didorong tanpa peringatan ke arah semak-semak.

Dharmawangsa 2 membuka mulutnya, nyaris melancarkan omelan, tetapi urung saat dua bola api kembali mendatangi mereka. Dua pemuda berpakaian serba hitam itu segera memasang kuda-kuda dengan masing-masing keris digenggaman yang memendarkan cahaya kekuningan.

Dalam sekali libas, lidah api dua makhluk astral itu padam dan tubuh seukuran buah kelapanya terbelah. Namun, belum sempat kedua prajurit malam itu mengembalikan keris ke dalam sarungnya, empat bola api kembali menyerang mereka dari empat penjuru mata angin.

"A-apa ini? Apa makhluk-makhluk ini menggandakan diri?" Dharmawangsa 1 berteriak frustasi. Sementara Dharmawangsa 2 menggeleng dalam kebungkaman.

Langkah mereka serempak mundur, merapatkan diri satu sama lain. Bunyi ranting-ranting kering gemeretak di bawah pijakan mereka seolah menjadi irama pengiring ketegangan yang terus memuncak.

"Kau! pergilah cari bantuan dan kembali secepatnya." Titah itu cukup tegas hingga membuat Dharmawangsa 1 berpaling dari targetnya. Dalam keremangan hutan wajah mengerutya mencari kesungguhan pada ekspresi rekannya.

Gadis itu menoleh padanya dengan penuh keyakinan. "Kalau kau tak kembali, aku akan membunuhmu!"

"SEKARANG!"

Teriakan itu bagai sengatan listrik yang menbuatnya tersadar dari keheranannya. Dharmawangsa 1 lantas mengayunkan tungkainya terbirit-birit, menerobos pekatnya belantara meninggalkan Dharmawangsa 2 yang tengah mengadu nyawa dengan para makhluk astral. Suara pertarungan samar di belakang menjadi pelecut yang memacunya untuk berlari lebih kencang. Puri Mata Ketiga adalah tujuan.

Namun, pada sebuah persimpangan belantara dan jalan kecil menuju sungai, delapan bola api menghadang Dharmawangsa 1. Makhluk dengan lidah api menyala itu mengitari sang prajurit malam dengan gerakan berputar yang mengintimidasi.

Pemuda berpakaian serba hitam itu mengacungkan kerisnya tinggi-tinggi sebagai bentuk pertahanan terakhir. Tangan gemetarnya menyimbolkan ketakutan dan kepanikan. Mulutnya komat-kamit merapal kegundahan yang melebur dalam ucapan tanpa suara.

Hal terakhir yang terdengar dalam belantara sunyi itu adalah suara jeritan beruntun. Lengkingan yang membuat bulu roma meremang dan memecah hening. Perlahan-lahan hutan lebat itu seolah berpendar, saat sekumpulan bola api bertemu di sentralnya. Merayakan ritual kemenangan mereka atas dua prajurit malam.







TBC.

Pontianak, 03 Juni 2020.

Puri Mata KetigaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang