Chapter 1: Aku Akan Pergi ke Dunia Manusia Untuk Merayunya

65 1 0
                                    

Kehidupan Pertama – Kami Terpisah Meskipun Kami Saling Mencintai


Entah sejak kapan, orang-orang yang melewati Sungai Pelupaan[1] mulai memanggilku Batu Tiga Kehidupan[2]. Setelah itu, beberapa orang menolakku, beberapa datang sambil bergandengan tangan dan mengukir kisah cinta mereka dari kehidupan sebelumnya diatasku, dan bahkan ada yang berdiri sambil menangis dihadapanku.

[1]Sungai Pelupaan disebut Wangchuan dalam mitologi Cina. Ini mirip dengan Lethe dalam mitologi Yunani.

[2]Dia disebut Batu Sansheng dimana Sansheng berarti ‘tiga kehidupan’. ‘Tiga kehidupan’ dalam konteks Buddhis juga berarti kehidupan lampau, kehidupan saat ini, dan kehidupan masa depan.

Namun, aku hanyalah sebuah batu di tepi sungai Wangchuan. Aku tidak memiliki kegembiraan ataupun kesedihan.

Aku duduk dengan setia seperti itu di dekat Wangchuan selama seribu tahun sampai akhirnya suatu hari aku membentuk sebuah jiwa.

Semua makhluk hidup harus mengalami cobaan nasib, tetapi aku tetap duduk di sana dengan tenang selama lebih dari satu abad sampai ...

Cobaan cintaku datang.

Membaca nasibku adalah seorang pendeta berjanggut putih yang melewati Wangchuan. Dia meramalkan cobaan yang akan datang sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.

Aku pikir dia hanya berkata omong kosong.

Aku adalah roh yang lahir dari Batu Sansheng; jiwaku adalah batu dan jantungku adalah batu. Hatiku telah lama ditempa menjadi dingin oleh kegelapan abadi di sepanjang Sungai Wanchuan.

Tidak ada rasa sakit dimana tidak ada cinta. Jika jantungku tidak pernah bergerak, maka darimana cobaan cinta ini akan datang?

Atau aku pikir begitu.

Tetapi semua hal selalu memiliki kejutan.

Pada suatu sore yang suram di dunia bawah, aku kembali ke Wangchuan yang tidak pernah berubah dari jalan-jalanku yang biasanya. Aku melihat keatas. Pada saat yang kebetulan itu, seolah-olah sinar matahari dari tanah makhluk hidup telah menembus lapisan kabut tebal, gugusan amarilis yang melapisi Yellow Springs tiba-tiba berkilauan.

Seorang pria tampil dengan anggun.

Aku tiba-tiba teringat kata-kata seorang wanita yang melewatiku pernah berbisik, bertahun-tahun yang lalu: “Benar-benar pria yang terpelajar, sangat halus (tingkah lakunya), sangat beradab.”[3]

[3]sebuah pepatah yang berarti kultivasi karakter seorang pria bagaikan penyempurnaan giok, diambil dari The Book of Songs, Odes of Wei.

Setelah seribu tahun, jantungku yang keras seperti batu membuat getaran halus yang aneh.

Dia perlahan mendekat, tentu saja bukan untuk melihatku, melainkan karena di belakangku ada Jembatan Naihe yang harus diseberangi untuk bisa masuk ke dunia bawah. Tidak mudah untuk bertemu dengan orang yang indah(bahasa inggrisnya ‘beautiful’ tetapi maknanya tidak harus feminim), jadi kupikir aku harus mempunyai perjumpaan yang indah dengannya.

Aku melangkah maju kedepan dan dengan lembut memanggilnya: “Tuan”. Aku berpikir untuk membungkuk kepadanya layaknya wanita yang dibesarkan dengan baik seperti yang ada di dalam buku-buku manusia. Tetapi buku-buku itu hanya mengatakan ‘membungkuk’. Mereka tidak pernah menjelaskan kepadaku seperti apa postur dan gerakan spesifik yang diperlukan.

Aku merenung sejenak, lalu menirukan hantu yang meratapi Yanwang (penguasa dunia bawah) dan jatuh berlutut dengan berdebum, membenturkan kepalaku di tanah dalam tiga kowtow, dan berkata kepadanya, “Siapa nama-Mu yang agung, tuan?”

Sansheng, Death Exists Not at the River of OblivionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang