11. Rahajeng?

25.9K 3.1K 75
                                    

Seperti yang sudah dijadwalkan Papi, hari ini aku dan Tama berangkat menuju Sentul. Bukan mau jalan-jalan atau refreshing kayak orang-orang. Tapi, lebih tepatnya sih mau meeting tentang proyek pembangunan perumahan di sana dan kebetulan kantorku yang pegang proyek ini.

Aku sama Tama sih sebenarnya cuma planga-plongo doang, soalnya yang benar-benar meeting itu ya para bos besar. Tapi, tenang aja. Kita juga punya tugas tersendiri yaitu membuat perencanaan anggaran dan menganalisis pembangunan karena kebetulan aku dan Tama lulusan dari jurusan ekonomi pembangunan. Jadi masih ngerti-ngerti gitu deh.

"Tama sama Aretta sehabis ini kalian boleh keliling sekitaran sini atau mau jalan-jalan dulu juga boleh. Kita kumpul lagi jam makan siang, ya? Sebelum balik kita makan siang bareng." Papi menginstruksi kami berdua. Wah, jangan ditanya rasanya dengar papi ngomong gitu. Ya, pengen loncat-loncat lah.

"Iya Pi," jawab Tama.

Setelah papi meninggalkan kami berdua, akhirnya aku dan Tama memutuskan hanya sekadar keliling lokasi yang nantinya akan dibangun perumahan ini. Udaranya lumayan sejuk, masih segar banget sih. Apalagi kalau konsepnya mau dibikin garden gitu. Rasanya kalau udah jadi, pengen deh punya rumah di sini. Tapi, biayanya .... Hehehe.

"Ta, bangku tuh." Tama menunjuk bangku di bawah pohon yang berjarak sekitar lima meter dari tempat kami berdiri.

"Terus kenapa, Tam?"

"Lo masih mau jalan atau mau duduk? Kalau masih mau jalan, gue mau tiduran di situ."

"Yang ada lo dikira orang gila lagi tidur-tiduran, Tam."

"Mana ada orang gila pakaian kantor gini sambil bawa ID Card."

Iya juga, sih. Hadehhh ingin nyinyir berakibat fatal kan jadi maloe.

"Kemarin dokter bilang apa aja, Ta? Sorry, gue gak masuk ruangan."

"Retakannya udah mulai nyatu kok. Mungkin efek gue minum obat sebanyak itu kali, ya? Ini aja nggak pakai tongkat udah bersyukur banget."

Iya, jadi semalam dokter membolehkanku berjalan tanpa tongkat. Azeekk banget kan.

"Lain kali lo kalau jalan hati-hati. Masalah jatuh juga bisa berakibat fatal."

"Iya Pak," jawabku sambil nyengir sok syantiek.

***

Kenyang sudah perut ini setelah makan siang bersama bapak dan ibu bos. Mereka pesan makanan juga nggak kira-kira banyaknya, padahal kalau aku pribadi satu lauk aja cukup. Eh, mereka pesan sepanci-pancinya dibawa ke meja. Itu juga ada enam jenis makanan yang tadi sempat kuhitung. Belum lagi minumannya.

"Eh, eh, Tam. Sebelum balik ke rumah mau anter gue ke kantor dulu nggak?"

Aku baru ingat sesuatu. Charger handphoneku ketinggalan di meja. Mana punya cuma itu doang lagi. Males banget kan kalau harus beli lagi.

"Ada yang ketinggalan?"

"Iya, charger gue."

"Suruh Sashi atau siapa gitu buat nyimpen dulu."

"Bukan masalah nyimpennya, Tam. Tapi, lo percaya gak kalau itu cuma satu-satunya?"

"Ya, udah. Kita beli."

"Aduh, nggak deh, Tam. Pokoknya ke kantor dulu."

"Beli aja sih, Ta."

"Tam .... "

Bodo ah merengek ria di dalam mobil yang saat ini dikendarai Tama. Males banget deh kalau harus turun terus beli dulu. Sayang waktunya. Mending sekalian ke kantor yang searah sama rumah kita.

08:20Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang