Take Over

596 23 9
                                    

Aku membolak-balikan tangan kananku. Rasanya aneh, sebuah cincin berlian kini telah melingkar disana, padahal acara tunangan itu sendiri belum berlangsung. Aku tak mengerti mengapa James memberiku hadiah macam ini. Seolah-olah, dia ingin cincin pemberiannya menyaingi cincin tunanganku nanti. Aku sebenarnya tidak keberatan memakai dua cincin di satu jari manis yang sama. Haha, tapi, itu sangat menggelikan. Jadi, bagaimana pun, ketika pertunangan itu tiba, aku terpaksa melepas cincin pemberian James. 

Sore itu, aku tengah menikmati warna jingga-nila yang bertebaran di langit. Kebetulan kamarku menghadap ke barat. Jadi, setiap sore aku bisa menikmati matahari terbenam dari balkon kamar. Seperti yang aku lakukan saat ini.  

Aku berdiri di ujung balkon sebari bersandar pada pembatasnya. Pandanganku menyapu bagian barat mansion secara perlahan. Dari sini nampak hamparan pepohonan yang rimbun tak beraturan, bunga-bunga daisy yang putih, kemudian... seekor kuda coklat-kehitaman beserta penunggangnya -James. Dia baru saja keluar dari dalam hutan. 

Dulu, sebelum James pergi ke Jerman, dia sangat sering berkuda di sore hari. Aku tak tahu itu merupakan kesenangannya, atau kebetulan dia hanya punya waktu senggang di sore hari saja. Aku hanya sering melihatnya di waktu yang sama seperti saat ini. Kami sering bertemu pandang secara kebetulan. 

James berkuda melintasi pekarangan barat mansion. Aku bisa melihat dengan jelas rambut coklatnya yang tertimpa cahaya senja. Dia tidak mengenakan helm berkudanya, pemandangan yang jarang aku lihat pada James. Dia sudah banyak berubah, bukan hanya secara fisik, tetapi perilakunya juga. 

Tiba-tiba terdengar suara ketukan di pintu kaca yang membatasi balkon dengan kamar. Ketika aku menoleh, aku menemukan Dylan sudah berada di pangkal balkon. 

"Apa aku mengganggu?" tanya Dylan sebelum melanjutkan langkahnya. 

Aku menggeleng. Ini pertama kalinya aku bertemu Dylan semenjak mendapat cincin dari James. Aku langsung membelokkan pembicaraan, penasaran bagaimana tanggapan Dylan terhadap hal ini. "Dylan, kau pasti tahu rumor yang sedang beredar diantara para pelayan, benar?" 

"Aku tidak tertarik dengan gosip," jawab Dylan sebari mengalihkan pandangannya ke langit. Kini dia berdiri di sampingku. 

Aku tak percaya dengan perkataannya. Meskipun tak tertarik, sudah seperti kebiasaan para pelayan mengetahui kabar-kabar hangat tentang kehidupan majikannya. "Bahkan jika rumor itu tentangku? Apa kau tetap tidak tertarik?" 

Dylan menoleh padaku, "Sebelum aku mendengarnya dari mulut para penggosip, aku pasti sudah mendengarnya duluan dari mulutmu," 

"Oh, ya? Tapi, sepertinya aku belum pernah menceritakanmu tentang ini!" kataku seraya menunjukkan cincin pemberian James. 

Dylan terlihat tak terkejut atau bahkan mengacaukan pola nafasnya. "Itu pemberian James? Pasti mahal..." kata pemilik iris hijau-abu itu dengan nada yang datar. 

"Apa Janine pernah mendapatkannya dari James?" 

"Seingatku tidak," 

"Jadi... menurutmu mengapa dia memberikan hadiah macam ini padaku?" 

"Aku tidak tahu, Nona." 

Aku memandang Dylan sambil mengernyit. Aku kecewa dengan reaksinya. Ini bukan Dylan yang aku kenal. Ini bukan Dylan yang biasanya mengkhawatirkanku atau tertarik dengan segala cerita hidupku. Aku tak mengerti apa yang sedang terjadi diantara kami. Rasanya Dylan sudah tak peduli lagi padaku. Entah sejak kapan Dylan berubah menjadi lebih tertutup, formal, dan dingin.  

Tapi kenapa? Apa aku melakukan kesalahan yang fatal? 

Aku menggali ingatanku yang sudah terkubur jauh di dasar pikiran. Berusaha mencari awal mula perubahan sikap Dylan kepadaku. 

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 23, 2014 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

My Perfect WeddingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang