Di tengah taman yang perlahan tertelan hujan lebat, terlihat sosok gadis duduk di salah satu bangku taman, menatap tanah tempatnya berpijak dengan pandangan menusuk penuh amarah. Tidak ada yang ditunggu, tidak ada yang menunggu, hanya dirinya dan malam yang terasa dingin oleh siraman hujan yang menyembunyikan air mata yang mengaliri pipinya.
"Apa yang kau lakukan disini, gadis kecil?"
Dengan lemas, gadis itu menoleh ke arah suara itu berasal. Tidak jauh dari tempatnya terduduk, terlihat seorang pria yang nampak lebih gelap dari malam. Di bawah keteduhan payung hitam, pria yang terbalut dengan pakaian berwarna hitam dari ujung kaki ke ujung kepalanya berdiri seakan merasa kasihan pada gadis tersebut.
"Jangan ganggu saya!" tukas gadis itu.
"Kenapa?"
"Jangan ganggu atau kupanggil polisi!"
"Lakukanlah." Pria itu terlihat tenang.
Merasa tertantang dalam kondisi emosi yang sudah tidak terbendung lagi, gadis itu mengeluarkan ponsel digitalnya dari dalam saku celana. Tak peduli sederas apapun hujan mengguyurnya, gadis itu berusaha keras menekan layar ponselnya, berusaha menekan angka demi angka seakan mengutuknya.
"Dengan begitu, permasalahanmu bertambah satu lagi," ujar pria itu mencondongkan payung yang dipakainya ke atas gadis itu. "Apa itu yang kau inginkan, gadis kecil?"
"Maksud anda?" ucap gadis itu lirih. Jemarinya berhenti berusaha menekan nomor pada ponselnya. Ketakutan yang tidak berdasar terasa jelas dari ucapannya.
"Problem." Pria berpakaian hitam itu terdiam sejenak sebelum melanjutkan ucapannya. "Aku bisa membantumu, gadis kecil. Berceritalah."
Gadis itu menatap wajah pria itu, samar-samar terlihat dibalik bayangan topi fedoranya. Ia berusaha menilai wajah yang terliha begitu ramah, tetapi semua perasaan mendadak muncul serempak dalam benaknya. Ketakutan, keberanian, kesedihan, kebahagiaan, putus asa, harapan, semuanya bercampur aduk dalam otak kecil dan bena gadis yang baru menginjakkan umurnya pada angka empat belas, saling bertabrakan satu sama lain, tidak ingin mengalah.
"Anda bisa membantuku?" Suara gadis itu semakin menciut tertutup derasnya hujan. "...Masalahku."
"Apa yang kau inginkan?"
Seketika, sekujur tubuh gadis itu bergetar. Ia tahu tidak ada seorangpun yang bisa memberikan apa yang ia inginkan, bahkan padaNya yang pernah ditaruh harapan. Musatahil.
Namun sebagian dari dirinya masih ingin menaruh harapan. Jika benar pria ini mampu mengeluarkannya atau setidanya membantu dirinya meraih pijakan dari permasalahan yang dihadapinya, maka...
"Katakanlah," ujar pria itu.
Kata-kata itu berayun kencang bagai godam, meremukkan dadannya dalam sekali ayun.
"...Bebas," ucapnya. "Aku ingin bebas."
"Hanya itu?"
"Aku ingin bebas!" Raungannya merobek deras hujan. Kata-kata pria itu telah menghancurkan tembok yang sudah lama menjulang tinggi menutupi isi hatinya. "Aku tidak ingin hidup dengan kedua orang tuaku! Aku tidak mau lagi menjadi barang untuk mereka! Aku tidak mau lagi menjadi mainan pria-pria itu! Aku muak! Aku—"
"Ingin kematian?" Pria itu memperhatikan sosok gadis yang mematung dihadapannya. Ia merogoh ke dalam saku jaketnya seraya berucap. "Ulurkan tanganmu."
Gadis itu menatap pria berpakaian serba hitam itu, nampak lelah dan bingung. Begitu mengulurkan tangannya, pria itu memberikannya sesuatu.
"...Gelang?" Gumam gadis itu seraya menatap gelang yang ada di telapak tangannya.
"Jika benar kematian yang kau inginkan, maka gelang itu akan membantumu."
"Kematian... Membantuku?"
Sesekali gelang itu berpendar, menampilkan warna violet setiap hembusan napas gadis itu. Terang, redup, terang, redup, seakan gelang itu hidup sebagai bagian dari tubuhnya.
"...Semuanya akan..."
"Semuanya."
Di tengah keraguan yang kian menumpuk, gelang itu menempelkan dirinya pada pergelangan tangan kanan gadis itu. "A-Apa yang—!?"
Perasaan terkejut segera tergantikan oleh kejanggal yang merayapi tubuhnya setiap kali gelang itu berpendar. Dinginnya malam perlahan terganti oleh kehangatan aneh yang tidak dapat dijelaskan dalam kata-kata. Keresahan yang sebelumnya menghantui ikut menghilang bersamaan dengan beban yang membebani pundaknya. Tubuhnya terasa seringan kapas, memberikan nuansa kebebasan yang selalu didambakannya. Di antara semua perasaan yang tergantikan itu, sebuah perasaan menonjol, memanfaatkan perasaan lain sebagai bahan bakar yang kian memperkuat perasaan tersebut.
"Apa ini kebebasan?" tanya gadis itu.
"Belum sepenuhnya," ucap pria itu. "Kau hanya perlu melakukan satu hal dan kebebasan itu milikmu."
"Satu hal... Apa aku boleh melakukannya?"
"Semua tergantung padamu."
Pria itu menatap lekat, memperhatikan perubahan yang terus menerus terjadi dalam benak dan pikiran gadis itu. Seulas senyum menghiasi wajahnya, senyum yang sudah lama tidak ditunjukkannya pada dunia. "Selamat datang, ratuku."
Gadis itu menoleh ke arahnya, menatap balik dengan matanya yang berpendar violet.
YOU ARE READING
Digital Chrome
ActionHarapan dan Keputusasaan. Dua hal yang saling bertolak belakang tetapi tidak pernah terpisahkan. Tidak ada yang lebih memahami keduanya selain Istari, mahasiswi di Ptolemia Shcool of Military. Akibat tragedi yang di alaminya, ia terpaksa mengulang s...