MASALAH hati memang susah untuk diselesaikan dengan logika. Cowok dan cewek memiliki cara untuk urusan hati. Cowok, kalau lagi patah hati biasanya lebih banyak diam. Berbeda dengan cewek, sekalinya putus, mereka langsung menggunakan perasaannya untuk menebak segala hal tentang si cowok.
Kalau sudah gini, teman-temannya kompak bilang, "Tuh kan, gue bilang juga apa. Dia tuh nggak serius sama Lo. Dari gelagatnya aja udah keliatan, udah deh kesimpulannya semua cowok di dunia ini sama!"
Teman yang lain nyeletuk, "Coba deh liat insta-story-nya. Pasti nyinggung tentang Lo!"
Memang nggak semua cewek seperti yang gue bilang di atas itu benar. Namun, beberapa cewek yang pernah gue dengar langsung sama seperti yang gue tulis. Cara mereka menghibur perasaan teman atau sahabatnya berbeda-beda.
Beda kelamin beda perlakuan. Ya kalau cowok lebih woles. Walaupun ya waktu gue ngerasain patah hati memang sempat nangis kejer di tolet. Gue nggak bisa buang air. Sekalinya buang air, satu jam. Itu karena tahinya gede-gede. Tapi itu dulu. Nggak tahu kalau sekarang.
Cowok itu beda. Kami diciptakan oleh Tuhan memiliki tingkat logika yang tinggi dibandingkan dengan cewek. Logika untuk berpikir dalam hal pedekate selalu diperhitungkan dengan matang. Berbeda dengan cewek yang terkadang melihat usaha atas si cowok. Perasaan cewek gampang banget untuk meleleh kayak es krim. Satu hal yang perlu kalian tahu: perasaan cewek susah banget ditebak.
Dari situ gue mulai bingung atas perasaan cewek. Sampai sekarang nggak jarang gue masih maju mundur karena takut. Gue takut kalau tiba-tiba perasaan gue dipatahkan dalam kondisi yang nggak sama.
Prinsip gue sampai saat ini: kita nggak tahu isi hati dari seorang cewek.
Cerita ini gue tulis seminggu sebelum sidang skripsi. Tepat di malam minggu, gue menulis sendiri di sebuah cafe Bintaro. Keadaan gelisah atas pertemuan dengan teman SMA membuat gue untuk menulis dan berakhir pada sebuah tegukan satu gelas kopi di malam itu.
Semuanya bermula dari sini.
***
MARI gue kenalkan teman gue. Namanya Nugi, asli Malang. Kebetulan dia kuliah di Universitas Marcubuana Jakarta. Komunikasi kami terjalin kembali saat gue mulai masuk semester tujuh. Tiap minggu kami sering ketemu di Kemang. Sesekali ngobrol tentang pekerjaan dan mantan. Obrolan yang sering gue dan Nugi bahas adalah angan-angan untuk menikah.
Dimata gue Nugi seorang yang mandiri. Hari-harinya disibukkan dengan pekerjaan dan kuliah. Berbeda sekali dengan gue yang cuma bisa meminum kopi sambil ngelihatin monitor laptop. Usia kami sama, 23 tahun.
Nugi memang sedikit lebih dewasa daripada gue. Dia memiliki banyak sekali rencana di masa depan. Dari segi finansial, dia lebih kaya daripada gue. Sesekali dia pernah bilang, "Gue pengin beli rumah, Zar." Kalau udah gini, gue cuma bisa jawab, "Gue nitip satu ya."
Gue kenal Nugi dari SMA. Dia dulu satu organisasi dengan gue. Hobinya sama-sama main bulutangkis. Salah satu olahraga yang bikin tangan kita gede sebelah.
Gue pernah bermain single disebuah pertandingan kelas dengan Nugi. Dia yang mewakili kelas 12 IPA 1 sedangkan gue mewakili 12 IPA 4. Cara kami bermain biasa-biasa saja. Tidak ada teknik khusus. Dari setiap kami bertemu di final, Nugi selalu menang. Itu semua karena faktor penyemangat. Salah satunya ceweknya.
Mari kita bahas ceweknya Nugi. Namanya Yana. Nama panjangnya Ayana. Dia bukan selebgram yang sekarang menjelma menjadi brand Ambassador dari produk Wardah. Bukan. Sejak SMA, mereka sudah pacaran. Mereka jadian ketika Nugi berhasil keluar sebagai juara satu dalam lomba bulutangkis pada acara classmeeting. Saat itu pula, Nugi membuka kaos badminton-nya dengan mengganti kaos hitam yang bertuliskan, "Na, aku serius sama kamu."
YOU ARE READING
Wartawan Hati
Teen FictionCerita ini bermula ketika Nugi merasa bimbang akan sesuatu yang belum jelas. Pada akhirnya berujung pada ketidakpastian.