Taman Bermain #1

13 0 0
                                    

Hari minggu di awal bulan merupakan hari paling suci di keluargaku. Setiap hari Minggu di awal bulan, kami selalu pergi liburan singkat. Entah itu hanya sekedar pergi nonton bioskop bersama, makan di pinggir jalan, atau mungkin pergi ke taman bermain. Ibuku seorang bidan dan Ayahku seorang koki di sebuah restoran terkenal. Jadi kami tidak bisa menghabiskan waktu bersama sesering itu. Semua sibuk. Bahkan aku yang sedang mengerjakan skripsi sekaligus menjaga adikku yang terpaut usia sangat jauh, lima belas tahun.

Walaupun begitu, keluargaku cukup harmonis. Ayah dan Ibuku masih sempat-sempatnya berpacaran setiap saat Ibuku pergi ke restorannya. Ya begitulah. Kerap kali aku bertanya-tanya apakah mereka tidak bosan melihat wajah masing-masing setelah dua puluh tiga tahun menikah?

Hari ini kami ke taman bermain. Dan di sinilah aku, sibuk mencari orangtuaku sambil menggendong Adik laki-lakiku yang hiperaktif di punggungku. Sudah hampir empat puluh menit kami berpisah sejak aku memutuskan menemani adikku menonton pertunjukan sulap.

"Kak!" panggil adikku. Suaranya hampir memecahkan gendang telinga.

"Iyaaa," jawabku pasrah.

"Aku mau es krim!! Itu ada es kriiiiiim. Turuuuun." pintanya sambil menggerakan kaki.

"Aduh, diam dong, bang. Nanti kalau jatuh bagaimana?" kataku kepayahan.

"Es kriiiiim!!"

"Iya, iya."

Aku menurunkan adikku. Sejurus kemudian, bocah empat tahun itu berlari ke arah stand es krim sambil berteriak 'Es krim! Es krim!!'. Baru sepuluh langkah, ia sudah jatuh tersandung kaki sendiri.

Aku berlari panik menghampirinya. Untung ia sempat bertumpu pada siku. Aku berjongkok agar bisa melihat lukanya. Adikku hanya duduk di jalan dan menangis sangat keras. Luka lecet di kedua siku dan lutut kanannya.

"Sudah, sudah. Abangkan kuat," aku menenangkan. Orang-orang melihat bersimpati, memberitahu kalau ada ruang kesehatan dekat toilet. Aku berterimakasih, tapi menolak untuk pergi ke sana. Aku penuh persiapan, selalu ada plester di tasku.

"Ibu..." katanya sesegukan.

"Ada kakak malah mencari Ibu, dasar." kataku sambil mencuci luka-luka adikku dengan tisu yang sudah dibasahi.

"Es kriiiiiim...." pintanya sambil sesegukan.

"Iya, iya." Aku menempelkan plester di atas luka-lukanya. "Jangan dibuka ya!"

Aku sudah merawat semua lukanya, namun ia masih menangis.

"Sepertinya lukamu juga harus dirawat," kata seseorang di belakangku. Secara otomatis aku menengok ke belakang. Lelaki muda yang menenteng gitar di punggungnya. Oh, dan es krim di kedua tangannya.

"Es krim!!" Mata adikku tertuju pada es krim di tangan lelaki itu.

"Ini lukanya sudah dirawat semua, kok. Maaf ya bikin kegaduhan. Adik saya memang cengeng," Aku tersenyum meminta maklum. Sementara adikku membisikan sesuatu di samping telingaku.

"Abang mau es krim kayak gitu, kak!" Oh? Dia sudah tidak menangis.

"Bukan, maksudnya itu kaki kamu lecet," kata lelaki itu.

Aku melihat pergelangan kakiku. Benar saja, kaki kananku lecet. Aku terlalu fokus dengan adikku sampai rasa sakit lecet ini baru terasa. Aku mendesah kecapaian. Lupa memakai kaus kaki.

"Boleh pegang es krim yang vanilla?" katanya. Aku menurut saja. Kini es krim itu sudah di tanganku. Dan bagian paling menyebalkan adalah, adikku mulai menjilati es krim vanilla itu!

"Yeay es krim!" pekiknya kegirangan. Anak balita memang semenyeramkan itu.

"Aduh, itu punya masnya lho, bukan punya kakak." Aku buru-buru mengangkat es krim itu tinggi-tinggi. Lelaki itu hanya tertawa, tangannya merogoh sesuatu di sakunya. Lalu ia menyodorkan plester bermotif sakura ke arah ku.

"Ini dipakai agar tidak makin parah. Itu es krimnya buat dia saja, saya sengaja beli lebih." Katanya.

"Aduh, maaf ya merepotkan." Kataku dalam posisi masih jongkok dan memegang es krim tinggi-tinggi.

"Sama-sama." katanya lalu pergi.

"Oh iya! Maaf, harusnya saya bilang terimakasih. Makasih banyak lho, mas!" Aku meninggikan volume agar ia mendengarkan.

Ia hanya mengangguk dan mengacungkan jempol sambil berjalan hingga hilang di keramaian.

"Es krim!"

"Oh iya! Nih, makan." Aku memberi es krim itu. "Bilang apa?"

"Makasih, mas!"

"Pintar." gumamku.

Aku kemudian mengendong adikku dan mencari tempat duduk untuk istirahat. Aku berhati-hati agar lecetku tidak semakin parah. Setelah menemukan bangku kosong, aku melepas sepatuku dan membersihkan luka.

Aku memperhatikan plester luka bermotif sakura itu. Di sudut plester ada sebuah tulisan tangan kecil yang sangat rapi, 'Taeil'. Aku tertawa keheranan. Siapa pula yang memberi nama sebuah plester luka? Ternyata ada orang seperti itu.

Aku menyimpan plester luka itu ke dalam kotak P3K karena aku tidak ikhlas menggunakan plester lucu untuk menutup lukaku. Aku menggunakan plester lukaku yang biasa. Setelah selesai merawat lukaku, aku ikut makan es krim yang diberi lelaki itu.

"Itu Ayah dan Ibu!" Adikku memberi tahu. Telunjuknya mengarah pada kedua orangtuaku yang sedang berjalan ke arah kami.

Aku tersenyum lega. Tiba-tiba aku berpikir, apakah Taeil adalah nama lelaki itu?

Moon Taeil and MeWhere stories live. Discover now