Paradoks; Lonely in the Crowd

2K 306 47
                                    

"Pemuda itu selalu duduk di sana, sendirian."

Suara Hoseok memecah fokus Namjoon dari acara meracik kopi; membuatnya mau tak mau melirik sekilas pada objek yang dimaksud oleh rekan kerjanya. Sebentar saja, ia mengintip dari balik mesin pembuat kopi di hadapannya―masih sosok yang sama, sejak satu minggu lalu, waktu di mana Namjoon menawarkannya untuk singgah, dan selalu duduk di tempat yang sama, meja nomor lima―tak lebih dari lima detik, Namjoon kembali pada kegiatan awalnya.

"Bukankah itu bagus?" Namjoon menjawab lugas, selugas tangannya yang bergerak teratur dan ringan kala melukis bentuk hati di atas coffee latte yang dipesan meja nomor lima―yang orangnya baru saja mereka bicarakan.

Hanya tinggal merapikan beberapa sisi, maka gambar itu akan terlihat sempurna, lalu selesai dan pesanan siap diantar. "Aku yang menawarkannya masuk, waktu itu dia hanya berdiri diam di luar. Mungkin dia akan menjadi pelanggan tetap kita."

"Tapi dia selalu sendirian, dan selalu melamun." Hoseok kembali menyampaikan hasil pengamatannya.

Namjoon menimpali. "Mungkin dia sedang memikirkan seseorang."

"Hm, sorot matanya tidak mengatakan demikian."

Suara dentingan benda porselen beradu saat Namjoon meletakkan gelas kopi di atas tatakan. Maniknya mengerjap pelan, sebelum sudut bibirnya tertarik usil. "Kenapa kau tidak mencoba mengajaknya berbicara? Seperti yang biasa kau lakukan jika ada pelanggan yang duduk sendirian?"

Sebelah alis Hoseok terangkat, "Tidak. Aku tidak ingin mengganggu." Hoseok mengusap dagunya dan merasakan anak-anak rambut yang mulai tumbuh di sana, ia mengingat dalam hati untuk mencukurnya nanti.

Sepasang iris cokelat gelapnya memperhatikan Namjoon yang sedang mengelap kedua tangan pada apron polos yang dikenakan hingga menghasilkan kerutan halus; gestur yang Hoseok tahu bahwa dia siap untuk mengantarkan pesanannya. "Lagi pula. Aku hanya... penasaran." Sepersekian detik sebelum Namjoon melangkah sambil membawa nampan, Hoseok kembali menginterupsi. "Hei, Namjoon. Kenapa tidak aku saja yang mengantarkannya? Itu pesanan meja nomor lima, 'kan?"

"Katanya kau tidak ingin menganggu." Namjoon menoleh sekilas dari balik bahu sambil memutar bola mata malas. Lalu berpikir, kapan kira-kira Hoseok bisa konsisten terhadap perkataannya sendiri ?

Pandangannya berpindah, pada seseorang di sudut sana―meja nomor lima, di mana seorang pemuda dengan surai sewarna karamel sedang duduk sendirian sambil menatap keluar jendela―lalu kembali pada gelas kopi yang masih mengepulkan asap tipis di atas nampan. "Bereskan saja sisanya. Lagi pula, aku juga penasaran padanya." Namjoon terdiam beberapa saat, terselip perasaan ragu, namun segera memantapkan hati dan melanjutkan langkah yang sempat terhenti. "Aku akan mencoba mengajaknya berbicara."

"Ah, baiklah." Hoseok menjawab sekenanya, bersamaan dengan Namjoon yang menjauh, ia memperhatikan konter disekitar. Tidak ada hal apa pun yang perlu ia bereskan.

Mungkin ia harus pergi ke bagian belakang untuk meletakkan kardus berisi biji kopi asli yang baru tiba sore tadi di rak penyimpanan, atau hanya perlu membuang sampah yang sudah menumpuk di ujung ruangan karena pegawai lainnya sudah pulang duluan.

"Sepertinya aku bisa pulang cepat." Gumamnya pada diri sendiri.

.

.

.

.

Bulan Desember adalah waktu di mana negara Korea memasuki musim salju; yang berarti musim gugur telah berlalu dan Seokjin hanya bisa menatap kepergiannya dengan sendu karena tak lagi bisa melihat bunga sakura berguguran.

Paradoks; Lonely in the Crowd | NamJin ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang