2

4 0 0
                                    

'29/11, minggu malam, tampil di Exodus Cafe'

Pesan yang dikirimkan Santi ke WA grup mereka segera mendapat respon dengan cepat. Arie juga merespon persetujuannya lalu menandai tanggal itu di agenda ponselnya. Band mereka bisa dikatakan cukup terkenal di kalangan cafe se-Jakarta, tapi mereka punya impian yang lebih besar: masuk dapur rekaman dan jadi musisi profesional. 

'Hai Arie, tgl 29 Nov kt ada jadwal manggung. Sudah tahu?'

Sebuah WA dari Maya.

Arie tersenyum tipis. WA basa-basi tentunya. Maya pasti tahu kalau Arie sudah tahu jadwal manggung mereka.

'Thanks infonya.'

Jempol Arie bergerak ragu-ragu di atas tombol 'send'. Sambil menghela napas dia kemudian menghapus tulisannya.

'Sudah.'

Dia menekan tombol send. Dia belum bisa melupakan rasa sakit hatinya. Bahkan dadanya masih berdenyut nyeri setiap dia mengingat malam itu. Malam di mana dia memberanikan diri untuk menyatakan cintanya kepada seorang gadis.

'Tumben cepet balas chat aku. Murid belum datang ya? 😃'

Arie memutuskan untuk tidak membalas pesan itu. Dia melirik jam di pergelangan tangannya. Muridnya terlambat lima menit. Saat dia menjadi murid, dulu, dia tidak pernah sekali pun terlambat. Malah dia datang beberapa jam lebih awal dan latihan di kelas kosong. Pihak sekolah musik sampai sudah hafal dengan kebiasaannya. Setiap dia masuk, mbak admin yang berjaga di meja depan pasti langsung memberitahu kelas mana yang sedang kosong.

"Kakak, sori aku telat." Seorang remaja putri masuk.

"Yuk cepetan, bukunya dikeluarin."

Remaja putri itu tersenyum kecut, "Tadi langsung dari sekolah, jadi nggak bawa buku."

"Yuli, Yuli..." Arie menggeleng-gelengkan kepalanya, "Jadi sekarang kita ngapain dong?"

"Kakak tau lagu 'One Last Time'-nya Ariana Grande? Aku mau belajar lagu itu."

"Kamu punya mp3-nya?"
Yuli mengangguk lalu mengeluarkan ponselnya. Sisa waktu dua puluh lima menit itu kemudian digunakan untuk memelajari lagu Ariana Grande. Walau tidak disiplin, Yuli sebenarnya berbakat. Sebentar saja dia dapat memainkan lagu itu dengan baik.

"Kak Arie, aku juga mau ngasih tau kalau aku nggak lanjut les lagi."

"Ooh gitu."

"Bentar lagi kan UN, aku disuruh mama fokus ke UN dulu."

"Jadi, mama yang mau kamu fokus ke UN? Kamunya sendiri mau fokus nggak? Arie tersenyum.

"Aku sih sebenernya tetep mau ke musik aja. Aku kan pernah cerita kalo mau kuliah musik, tapi papa mama nggak ngebolehin." Yuli menghela napas.
"Ini aja aku disuruh les tambahan Fisika lagi karena nilai Fisika-ku di bawah KKM."

"Dulu kakak juga nggak pernah bisa Fisika, tapi idup-idup aja sampai sekarang. Bisa kerja, bisa dapat uang juga." Arie tertawa kecil.

"Yah, kan beda. Kakak udah bisa nentuin jalan hidup sendiri. Aku kan masih belum bisa."

Kalau masih ada waktu panjang, ingin rasanya Arie bercerita soal bagaimana jalan hidupnya, tapi sayang, murid berikutnya sudah datang.

"Yuli, kamu berbakat di musik. Apa pun yang terjadi, kamu tidak boleh ninggalin musik. Pelajari dan perdalam terus. Itu talenta yang Tuhan sudah kasih ke kamu, jadi kamu harus pertanggung jawabkan sebaik-baiknya."

Yuli terdiam sebentar kemudian mengangguk. "Thanks ya Kak Arie, aku akan inget Kak Arie selalu." Dia mengulurkan tangannya. Arie tersenyum. Saat Yuli kemudian ke luar dari ruangan,
Arie melongokkan kepala. Mencari sosok Rinko di ruang tunggu. Gadis itu belum kelihatan. Arie kemudian ke pantry. Tubuhnya perlu secangkir kopi.

"Loh, Mas Arie belum pulang?" Sapa Pak Edwin, office boy yang biasa mangkal di pantry.

"Masih ada satu murid, tapi belum datang."

Pak Edwin mengangguk-angguk. "Mas Arie mau bikin kopi? Wah, air panasnya sudah saya matikan. Saya pikir sudah pada mau pulang."

Arie tersenyum.

Selesai membuat kopi, Arie kembali ke kelasnya. Rinko belum kelihatan juga. Arie duduk di bangku piano. Jemarinya mulai menari. Sebuah lagu dengan irama yang sendu mengalun di ruangan kelas yang tidak terlalu luas itu.

Arie tidak suka sendirian. Bukan karena dia orang yang supel dan ceria. Dia tidak supel, tidak ceria, malah terkesan pendiam. Dia tidak suka sendirian karena sendiri akan membuat dia mengingat hal-hal yang tidak ingin diingatnya. Sendiri membuat dia mengingat rasa sakit di hatinya.

Sebuah ketukan halus menghentikan alunan lagu sendu itu. Rinko tampak tersenyum kecil dari balik pintu.

"Maaf Kak Arie, saya terlambat. Tadi masih ada urusan yang harus diselesaikan."

Arie mengangguk kecil.
Rinko meletakkan jemari kanannya di atas tuts. Jemari itu tampak bergetar.

"Kamu mau istirahat dulu?" Arie menawarkan.

Rinko menggeleng. Jemarinya mulai memainkan lagu Rainbow Garden. Arie memerhatikan kalau jemari Rinko masih kaku, tapi kegigihannya untuk berlatih membuat Arie kagum. Baru tiga hari mereka berlatih bersama dan saat ini Rinko sudah cukup lancar memainkan lagu ini. Yah, memang masih tangan kanan saja, tapi mengingat lagu ini panjang dan sulit, Arie tetap kagum dengan semangatnya. Apalagi dia juga tidak punya alat musik di rumah. Entah bagaimana dia berlatih.

"Aduh!" Tuts yang ditekan Rinko menghasilkan nada yang sumbang. "Aduh, yang mana ya?" Dengan panik, gadis itu membalik-balik partiturnya. Telunjuknya menelusuri halaman-halamannya. Gadis itu menghafal, jadi dia kesulitan menemukan tempat di mana dia melakukan kesalahan.

"Kamu sampai sini." Arie menunjuk.

"Ooh..." Wajahnya tampak semakin sendu. Dia memerhatikan not yang ditunjuk Arie, dahinya mengernyit.

"Harusnya yang ini." Arie menekan tuts yang benar. Dia juga memainkan beberapa not sebelumnya.

Rinko mengangguk.
"Coba mulai dari sini ya."

Lagu itu kembali mengalun.

"Nggak apa-apa, ini udah bagus kok."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 06, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Rainbow GardenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang