PROLOG

228 10 2
                                    

Celaka. Sial. Gawat. Bencana.

Oh, ayolah, Orli, jangan bertingkah sekarang. Ini sudah jam sepuluh malam, tau! Well, tentu saja Orli nggak bakalan tau. Dia tetap saja bertingkah. Nggak mau jalan. Mogok. Bahkan sekedar terbatuk-batukpun dia tak sudi.

Dengan frustrasi aku menggebrak setir. Oh Orli, ayolah. Kau boleh bertingkah dua bulan lagi karena saat itu aku sudah menjual dan menggantikanmu dengan mobil bekas yang lebih 'sehat' dan laik jalan. Aku bahkan sudah berjanji menamai calon mobil baruku itu dengan namamu kan, Orli?

Ya ampun. Kenapa parkiran mobil ini gelap sekali? Kenapa lampu merkuri yang biasanya menerangi lapangan parkir tiba-tiba bersekongkol dengan mesin si Tua Orli, sama-sama enggan melakukan tugasnya?

Dengan putus asa aku menatap bangunan jangkung di depanku. Lalu pandanganku beralih ke jam tangan Fossil (kubeli sewaktu sale kapan itu) di pergelangan tangan kiriku. Jam sepuluh lewat sepuluh menit. Malam, bukan pagi.

Sebuah ide terbersit di benakku, selama sedetik. Tidur di kantor. Di ruang tunggu ada sofa yang cukup nyaman. Sahabatku Calista, staf departemen humas, yang mengusulkannya waktu meeting setahun lalu. Katanya meski sekedar ruang tunggu, namun justru berawal dari sanalah citra perusahaan bisa terbangun. Mungkin lebih tepatnya aku yang terbangun jam sembilan malam di sofa ruang tunggu itu sementara Orli diperbaiki mekanik dari bengkel sebelah yang buka 24 jam (maksudnya buka 24 jam untuk aku yang memang punya mobil berlangganan mogok). Malah kapan itu mas mekanik menawarkan paket hemat perbaikan mobil. Kayak restoran fast food saja. Tapi hari ini mereka sudah tutup awal karena pemilik bengkel punya hajatan kawinan anaknya.

Oh, tapi aku lebih merindukan sofa bed di apartemenku. Sofa bed berwarna krem yang sangat manis dan kubeli dengan setengah seluruh gajiku per bulan (aku hutang dari Calista selama sebulan berikutnya, boleh dicicil selama 6 bulan). Sebenarnya harga sofa bed itu tidak telalu mahal (apalagi dibandingkan sofa di ruang tunggu kantorku). Tapi tetap saja menguras gajiku yang memang tak seberapa itu. Kalau lagi tidak difungsikan sebagai tempat tidur, sofa bed itu bisa dilipat sedemikian rupa menjadi sofa 3 seaters yang cantik. Sebagai akibatnya aku tak mampu membeli perabot apapun lagi untuk ruang tengah apartemenku (yang sempit) selain sofa bed itu, meja kopi kecil dan meja tivi.

Ih. Kok makin serem saja di sini. Aku sudah hampir berlari ke gedung jangkung di depanku yang kini temaram itu ketika tiba-tiba ingat mesin foto kopi di dekat ruang tunggu suka menyala sendiri di malam hari dan mengeluarkan bunyi seperti sedang memfotokopi sesuatu. Ih! Serem amat. Aku sih belum pernah mengalaminya sendiri tapi cerita tentang mesin foto kopi itu sudah melegenda di kantorku, layaknya cerita Bawang Putih Bawang Merah. Burhan, seorang staf IT yang keranjingan baca majalah misteri dan buku primbon, bahkan meletakkan sesaji kembang tujuh rupa di dekat mesin itu sebelum Bu Meinar, kepala departemen pemasaran –divisiku- sekaligus office manager di kantorku menyuruh Burhan mandi dengan kembang tujuh rupa itu. Takut didamprat Bu Meinar, Burhan (yang mungkin kependekan dari Burung Hantu) tak pernah lagi meletakkan kembang apapun di dekat mesin foto copy itu kecuali setangkai kembang mawar merah yang dia beli untuk Amel –sang sekretaris direksi- yang sudah lama ditaksir Burhan. Kembang itu bisa ada di atas mesin fotokopi lantaran Amel menolaknya mentah-mentah dan memilih meninggalkan kembang itu di atas mesin fotokopi.

Jadi sekarang mesin fotokopi yang misterius itu tidak pernah lagi ada penangkalnya.

Eh, apaan sih? Kok aku jadi kayak si Burhan? Tapi tak urung bulu kudukku berdiri. Omygod. Apa yang harus kulakukan? Mungkin aku pulang naik taksi saja. Eh, tapi selarut ini naik taksi sendirian? Aduh, lebih ngeri mana ya dengan tidur di dekat mesin fotokopi yang berderit itu?

I wish a knight in the shiny armor and white horse saved me. Take me home safely. I wish. A wish that will never come true.

Jangankan ksatria berbaju zirah mengkilap dan berkuda putih, sekedar menemukan cowok yang mau jadi pacarku saja susahnya minta ampun. Efek memiliki sahabat secantik Calista memang ada buruknya juga. Para cowok itu berlomba merebut perhatian Calista dan aku seperti tak kasat mata. Meski Calista tak menerima satupun perhatian para cowok itu, tapi kenapa para cowok itu tetap saja nggak menyadari keberadaanku? Memang susah jadi cewek yang sangat biasa-basa saja. Bahkan kalau aku mengecat rambutku dengan warna merahpun tetap saja tak ada yang menyadari aku ada. Kecuali Calista. Dan Gladys, anak sang big boss yang sangat baik padaku. Hanya itulah keuntungan menjadi gadis biasa-biasa saja seperti aku. Para gadis secantik Calista dan Gladys (yang bahkan adalah future leader di kantorku) mau bersahabat karib denganku karena aku nggak bakalan bisa membuat mereka terintimidasi (meski mereka berkali-kali mengatakan aku sahabat yang baik, gadis yang manis dan tidak pernah mementingkan diri sendiri).

Last Roommate - Teman Berbagi ApartemenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang