Bagian 1 - Rendy Juliansyah

2.2K 87 12
                                    


— R e n d y —

Rendita Julyana.

Sebenernya gue biasa aja waktu denger nama itu. Tapi, karena si Zico keseringan ngeledekin gue dengan teorinya yang gila itu, gue jadi kepikiran sendiri.

Waktu itu, hari pertama masuk sekolah. Gue yang sekelas lagi bareng Zico, akhirnya duduk bareng dia. Kami udah temenan dari SMP. Tepatnya, sih dari awal MOS. Dan waktu gue tanya dia mau masuk ke SMA mana, dia malah menjawab dengan cengiran khas Zico, "gue ikut lo aja deh, Ren." Dan setelah mendengar dia bilang begitu, gue berasa jadi seorang kakak yang dibuntutin terus sama adiknya.

Zico bilang, alasan sebenarnya adalah rumahnya yang teramat jauh dari peradaban. Bercanda. Eh tapi serius, deh. Dari awal masuk SMP dia tinggal di asrama, karena dia itu anak rantauan. Gue sempet kagum, karena seorang yang baru 15 tahun udah berani tinggal jauh dari keluarga. Tapi, pas ngeliat tingkahnya, gue rasa orangtuanya emang sengaja ngelempar dia ke Jakarta, supaya ngurangin beban keluarga. Bukan soal materi. Ini anak hiperaktif banget, cuy. Untung gue sabar banget sama dia. Dan karena gue udah begitu deket sama Zico, nyokapnya sering bawain makanan lebih ke Zico kalau beliau lagi main ke asrama. Dan nyokapnya juga bilang banyak banget terimakasih ke gue, karena semenjak temenan sama gue, Zico agak lebih baik. Sejauh ini, gue emang selalu maksa Zico buat berubah, buat buktiin ke orangtua kalau mereka nggak sia-sia nyekolahin dia. Dan gue bersyukur kalau dalam perubahannya ada campur tangan gue.

Tapi, walaupun dia berubah jadi anak yang absennya selalu penuh dan nilai pelajarannya meningkat, bakat tengil mungkin emang udah mendarah daging di dirinya.

Balik lagi.

Waktu semua murid baru masuk ke kelas dan berebut tempat duduk, dia narik-narik gue buat duduk di bangku yang dia pilih. Baris kedua. Gue yang selalu duduk di belakang dan berkumpul bareng cowok-cowok, sekarang harus duduk di kelilingin cewek-cewek. Bukan karena nggak suka cewek, tapi, kerasa asing banget gitu.

"Eh cewek yang duduk di depan, kenalan bisa kali." Saat itu, gue tau alasan dia maksa gue duduk di sini.

Cewek itu menoleh, langsung menatap Zico dengan alisnya yang terangkat. "Eh iya?"

"Gue Zico."

"Juli." dia menyambut tangan Zico sambil tersenyum. Aduh nih anak nggak tau aja kalau si Zico raja modus.

"Kalau gitu gue Agus, deh." tuh kan, Zico mulai.

"Agus?" dia melepas pelan tangan Zico, keningnya berkerut.

"Agustus, kan biar deket sama Juli."

Krik

Nah kan, tuh cewek cuma diem.

"July, pake Y. Bukan bulan Juli."

Zico cuma manggut-manggut, setelah itu, nyengir lagi. "Kalo ini, si panjul."

Tangan gue otomatis mendarat mulus di kepalanya. Gue tau, dia sering banget manggil gue dengan sebutan itu.

"Yailah, bercanda kali, bwang. Benjol nih kepala dedek." dia mengelus kepalanya. Lebay. Padahal gue nggak sekenceng itu jitaknya. "kenalan sendiri, makannya. Mandiri dong."

Si cewek yang bernama July yang belum dapet temen sebangku ini, menoleh ke arah gue sambil mengulurkan tangan. "July." Iya, gue udah tau.

"Rendy Juliansyah." Selalu ada kebanggan tersendiri tiap kali menyebutkan nama lengkap gue. Salah satu bentuk terimakasih gue ke nyokap-bokap atas nama yang mereka kasih.

Dan yang nggak gue sangka, dia tiba-tiba menengang. Gue bisa ngerasain karena tangannya masih bersalaman sama gue.

"Kenapa?"

LUPA BAWA NYALI (TIMNAS SQUAD)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang