"Coba tebak, gue abis ketemu siapa?"
"Ibu kost yang malakin tunggakan lo."
"Yee... Gue nggak pernah telat bayar, ya!"
"Yaudah nggak usah pake tebak-tebakan segala, makannya."
"Berlian."
Tubuh gue menegeng seketika mendengar nama itu. Bukan berlian batu mulia yang indah dan mahal, dia jauh lebih mahal dari batu-batuan itu. Dia Berlian, gadis cantik dengan jilbab yang selalu dia sampirkan ke pundaknya. Dan dia, adalah alasan gue sering berdiam diri di kantin meskipun kadang nggak pernah beli apa pun untuk dimakan.
Berlian bukan penjual makanan di kantin ataupun orang selalu berada di kantin. Tetapi, dia sering berada di perpustakaan yang jendela di sebelah timurnya, mengarah langsung ke kantin. Dia sering duduk di sana, di dekat jendela. Walaupun hanya dari samping, gue udah merasa cukup mengamatinya. Meyakinkan bahwa dia baik-baik saja.
Nama gue Egy. Dalam diam adalah cara gue mencintai Berlian. Meskipun dia tidak pernah tau.
***
Banyak yang nggak percaya, bahwa hubungan gue dan Berlian sebelumnya sangat dekat. Kami bersahabat. Ya, persahabatan-antara-pria-dan-wanita. Sampai akhirnya gue sadar, status 'persahabatan' kami adalah sebuah topeng. Penutup dari semua rasa yang gue miliki untuk Berlian. Pemalsu keadaan demi selalu membuatnya bahagia. Meskipun terkadang dalam bahagianya terselip nama orang lain.
Gue mengenal Berlian sejak kelas 1 SMA. Kami duduk berdekatan, dan akhirnya sering bertukar cerita. Walaupun Berlian duduk dengan seorang wanita, dia mengaku lebih sering menuangkan ceritanya pada gue, dari pada teman sebangkunya. Gue lebih bisa memahami, katanya. Melihat bagaimana Berlian tersenyum adalah salah satu alasan gue rajin berangkat ke sekolah saat itu. Sampai akhirnya, dia mencintai seorang laki-laki.
Laki-laki itu adalah teman satu ekskul Berlian. Kami jadi sering bertemu dan pergi bertiga saat mereka masih pedekate, karena Berlian lah yang mengajak gue. Walaupun dalam hati gue nggak bisa menerima, gue tetap harus sadar. Berlian bahagia dengan dia.
Seiring berjalannya waktu, gue dan Berlian makin jauh. Dan yang gue ingat, Berlian terakhir kali menuangkan curhatnya saat kami kelas 3 SMA menjelang perpisahan sekolah.
"Maaf, Gy. Rafli nyuruh gue buat ngejauhin lo. Dia merasa kedekatan gue dan lo itu nggak sehat katanya. Gue sempet marah karena dia bilang begitu, tapi gue gamau juga kehilangan dia. Maaf Gy, tapi gue akan selalu menganggap lo sahabat gue, kok."
Kalimat terakhir Berlian yang selalu gue ingat. Dan kalimat itu, adalah kebohongan pertama yang berlian katakan pada gue.
Setahun terakhir, saat kami—gue, Berlian, dan Rafli— belajar di kampus yang sama, Berlian benar-benar menjauh dan bahkan hilang. Nggak ada lagi pesan-pesan maupun telfon berisi curhatannya pada gue. Nggak ada lagi sapaan dengan senyumnya yang manis itu tiap kami berpapasan. Berlian selalu mengalihkan pandangannya ketika melihat keberadaan gue. Dia sudah berubah.
***
"Di mana ketemunya?"
"Di depan ruang kaprodi. Gue baru aja mau konsul soal KHS gue yang bermasalah, eh dia keluar dari pintu yang baru gue pegang kenopnya."
Setelah kenaikan semester 5, gue makin jarang melihat keberadaan Berlian di kampus. Di perpustakaan, tepatnya di dekat jendela, gue udah nggak pernah liat dia lagi sejak 2 minggu terakhir. Padahal, Berlian selalu duduk di sana, walaupun kadang hanya 30 menit.
![](https://img.wattpad.com/cover/157685240-288-k50416.jpg)