"Kau menyebalkan. Kau terlalu senang sampai lupa pamit! Kau berhutang oleh-oleh padaku. Titik! Cepat kembali! Aku tidak memiliki teman untuk ku omeli! "
Seketika aku memberi jarak pada ponsel yang tadinya menempel di telingaku. Aku masih menyayangi alat pendengaran yang Tuhan titipkan padaku. Karena ini titipan jadi aku harus menjaganya dengan baik. Suara Irene eonni benar-benar memekakkan. Aku hanya mengangguk saja walaupun sebenarnya ia tak akan melihatku. Memang salahku sebelum pergi tidak berpamitan dengannya. Tapi tak apa. Semoga saja ia tidak merasa kehilangan saat ku tinggal kemari.
Setelah berbincang sebentar dengannya, aku kembali menyalakan layar ponselku. Aku ingin menghubungi seseorang yang baik setelah mereka-mereka yang sangat baik terhadapku. Orang itu Oh Sehun. Pemilik restauran tempatku bekerja selama kurang lebih satu tahun ini.
Ibu kerap kali memarahiku karena kerap kali menolak tawaran ayah tentang menjadi sutradara, seorang editor penerbitan buku dan bahkan sempat seorang teman kenalannya mengajakku bekerja di kantor kedutaan. Semua sangat cocok untuk jurusan sastra yang kutekuni semasa kuliah tahun lalu.
Tapi entah mengapa aku tidak tertarik dan lebih memilih menjadi seorang karyawati di restauran milik teman baikku. Aku ingin bebas, aku terlalu lelah menuruti keinginan keluarga. Jadi kali ini aku benar-benar ingin hidup dengan pilihanku sendiri.
Aku sadar, yang ayah lakukan padaku adalah demi kebaikan. Aku mendapat banyak wawasan dan beberapa orang datang menawariku pekerjaan tanpa aku harus bersusah payah melayangkan surat lamaran kerja pada mereka. Tapi kembali lagi pada diriku, aku ingin bebas, terbang ke udara dan merasakan semilir angin ketenangan tanpa terikat akan banyak aturan yang membuatku harus merasa lelah dan jatuh. Karena itu aku beruntung memiliki teman sebaik Oh Sehun.
Ngomong-ngomong tentang Sehun, sudah ketiga kali ini aku mencoba menghubungi kontaknya. Tapi sama sekali tak terjawab. Kemana perginya lelaki itu?
Aku terus menyusuri jalanan basah di sekitar lingkungan rumah paman. Tadi sore hujan, aroma tanah tercium begitu menyengat pada hidungku. Karena itu pula aku merasa sangat nyaman. Suasana pedesaan yang membuatku mungkin akan betah tinggal beberapa hari disini.
Rencananya aku akan pergi ke minimarket untuk membeli cemilan. Malam ini ada siaran bola, aku tidak ingin hanya diam dan terpaku pada layar tv tanpa melakukan apapun. Jadi aku memutuskan pergi dengan berjalan kaki saja. Toh, sepertinya aman. Dan lumayan menyenangkan.
Aku terus mencoba menelpon Sehun, sampai panggilan ke tujuh akhirnya aku dapat mendengar suara khasnya yang sangat kusuka.
"Kemana saja kau?" Baru saja tersambung, tapi aku sudah bersiap mengomelinya. Rasanya menyenangkan sekali bisa berbicara lagi dengan bossku ini setelah beberapa hari. Walaupun hanya melalui telepon.
Bukannya malah berbalik mengomel, lelaki di seberang telepon ini malah terkekeh saat aku memulai pembicaraan.
"Kau ingin ku bawakan apa saat pulang nanti? Kebetulan Irene eonni minta oleh-oleh."
"Jadi kau menawariku karna Irene meminta? Kalau tidak berarti aku juga tidak dapat?" protesnya. Aku hanya terkekeh mendengar dia yang seperti itu.
"Bukan begitu. Intinya aku sedang baik sekarang. Cepat katakan kau ingin apa? Biar ku catat dalam note ponsel dan ku bawakan untukmu." Aku masih terkikik di sela ucapanku. Sungguh, aku selalu merasa gemas pada Sehun saat dia jadi tukang merajuk. Dia lebih parah dari wanita yang sedang tanggal merah."Bilang saja karena aku sudah baik hati mengijinkanmu cuti jangka panjang. Sudah, kau kan masih lama kembali ke Seoul. Ku pikirkan nanti saja. Aku tutup dulu, sayang. Jaga diri disana. Bye."
Tut.
Sehun memutuskan saluran telepon sebelah pihak. Padahal aku masih ingin bicara padanya. Aku harus memprotes kelakuan dia yang kerap kali memanggilku dengan sebutan menjijikkan itu.
Berkali-kali aku mengingatkannya berhenti memanggilku 'sayang'. Tapi Sehun tak pernah mau mendengarkanku. Karena dia selalu mengucapkannya sambil tertawa, kadang aku tak begitu mempermasalahkan itu. Yang aku takutkan saat dia tidak sedang membuat lelucon dan melakukannya. Aku takut.
"Siapa itu?" Aku menajamkan indra penglihatanku saat melihat beberapa meter dari jarakku ada seorang lelaki tengah berdiri membelakangi arahku dan menempel pada pagar tinggi. Kepalanya mendongak ke atas, aku jadi curiga. Apa dia sedang berusaha melakukan aksi pencurian?
Aku mencoba mengambil beberapa langkah lebih dekat lagi dengannya. Bagus. Sekarang jarakku dengan lelaki itu hanya tersisa dua tiga langkah saja. Lantas spontan aku semakin mendekat dan menepuk pundaknya dari belakang.
"Hey, pencuri!"
"Ya!! Ibu! Ibu!" Aku kaget saat lelaki itu malah berteriak kencang sekali dengan posisi yang bertahan membelakangiku.
Aku mundur selangkah, selang beberapa lama setelah mendengar banyak ia mengaduh, akhirnya lelaki tersebut berbalik badan melihatku.
"K-kau jahat sekali. K-kau Park Sooyoung keponakan bibi Park, kan? Ah, aku membencimu!"
Aku benar-benar tak bisa menahan mulutku untuk tidak menganga saat melihat wajahnya yang begitu memerah setelah sepenuhnya menghadapku. Dan lebih mengejutkan lagi ia langsung pergi meninggalkanku. Tapi seperti ada yang aneh dari caranya berjalan.
Ada apa dengannya? Ia malu karena aku memergokinya akan mencuri? Dan-- dan kakinya terantuk pagar hingga membuatnya berjalan dengan aneh? Harusnya aku berteriak tadi supaya dia di kroyok masa. Tapi dia terlanjur pergi. Jadi kupikir aku tak perlu memperpanjang masalah ini lagi. Semoga saja ia menjadikan ini sebagai pelajaran.
Next tidak?
Kalo next sih kayaknya aku ga bisa nentuin panjang atau pendeknya charpter deh
Ini aja sebenernya bikinnya juga ga sengaja.Ga tau kenapa akhir² ini kalo emosi bawaannya pengen ngetik ff aja 😀
KAMU SEDANG MEMBACA
When I Don't Love You
FanfictionSaat itu, kau bukanlah milikku dan dia yang terus berlari mengejarku