Dekat

58 8 0
                                    



Suara gemuruh dengan angin yang menerpa seluruh badan mungil itu membuat Sarina merasa kedinginan. Sore hari yang mendung membuatnya harus segera sampai di rumah mungilnya yang hangat. Dengan menggunakan pendengarannya yang tajam Sarina berdiri di halte menunggu bus yang akan mengantarnya pulang.

Suara ketukan sepatu pantofel terdengar berjalan mendekat kearahnya. Senyuman manis terukir diwajah cantiknya sebagai sapaan ada seseorang yang mendekat kearahnya, "Sarina!" panggil seorang pria yang sedikit teriak dan berlari menghampiri Sarina.

"Kita ketemu lagi, jodoh kali ya?" kata pria itu sembari terkekeh. Sarina kenal suara ini, suara pria tadi pagi yang menolong dirinya akan kecerobohannya, Sagara. Senyum ceria terbentuk diwajah Sarina, "Kamu Gara kan? Yang tadi pagi nolongin aku waktu aku kesandung dan hampir gempa bumi."

Mendengar penuturan lucu Sarina membuat Sagara terbahak. Bagaimana bisa seorang gadis mungil jika terjatuh akan terjadi gempa bumi? Memang Sarina berisi, pipinya yang gempal dan matanya yang bulat membuat Sarina terlihat imut. Badannya berisi tapi tidak bisa dibilang gendut. Karena menurut Sagara gadis itu terlihat sangat mungil. Ada-ada saja gadis ini, pikirnya.

"Kamu mau pulang, Rin? Naik apa?" tanya Sagara sembari terus menatap Sarina dengan senyuman yang jarang ia tunjukkan. "Naik bus, Gara. Aku harus cepet-cepet pulang nih, keburu hujan dan hawanya udah dingin banget. Kayaknya mendung juga." jawab Sarina sambil menatap lurus kedepan. Sarina menatap ke arah dada Sagara, dan Sarina tidak tahu.

"Kamu ngapain liatin dada aku, Rin? Keliatan pelukable ya." candanya. Sarina terkekeh akan itu. Sarina mencoba menimang-nimang seberapa tinggi Sagara. Kalau dia hanya sebatas tinggi dada Sagara berarti tinggi pria itu kurang lebih seratus delapan puluh centimeter. Sarina mendongak dan yakin ia sudah menatap Sagara. "Sarina, kamu malah ngeliatin leher aku sekarang, mau apa hm?"

Tangan Sagara menuntun kepala Sarina agar menatapnya dengan benar. Sarina tersenyum, "Aku cuma punya empat indera, Gara." ucapnya dengan lembut. Sagara mengerutkan keningnya bingung, empat? Bukankah indera itu ada lima? Kecuali indera keenam yang bisa lihat makhluk tak kasat mata.

Sagara menatap Sarina dengan perasaan bersalah, ia baru menemukan jawabannya. Sarina buta. Dan sekarang ia baru menyadari. Tadi pagi pun saat mereka berkenalan Sarina mengulurkan tangan kearah samping tubuhnya, bukan kehadapannya. Lalu Sarina beberapa menit lalu mengatakan awan mendung dengan tidak yakin.

Tangan Sagara terulur untuk mengelus surai hitam Sarina yang terlihat lembut. Dan benar, rambut itu nyatanya lebih lembut dari kelihatannya. "Maaf, Rin." Sarina dapat mendengar Sagara mengatakan itu dengan rasa bersalah. Sarina kembali tersenyum cerah dan memaklumi. Terlalu banyak orang mengatakan permintaan maaf karena baru mengetahui kekurangannya.

Dan banyak orang yang lambat laun pergi menjauhi Sarina. Mereka tidak mau repot-repot membantu Sarina yang tidak bisa melihat. Lagipula, Sarina tidak membutuhkan dan tidak mengharapkan bantuan dari orang lain. Ia sudah terbiasa dengan tidak melihat. Sarina bersyukur masih bisa mendengar dan pendengarannya pun tajam. Sarina pun hafal jalan menuju tempat ia bekerja dari rumahnya, ia sudah terbiasa tanpa melihat. Sarina tidak mengemis bantuan orang lain. Sarina kadang kala bosan dengan kesunyian yang melingkupinya, Sarina juga butuh teman untuk mengobrol. Tetapi semua menjauhinya setelah tau Sarina buta. Sarina terlalu merepotkan untuk didekati.

Mungkin Sagara juga akan pergi menjauh karena tau Sarina buta. Sarina sudah terlatih untuk tidak mengharapkan bantuan orang lain, dan Sarina ingin orang lain tidak merasa iba kepadanya. Ia ingin orang lain tidak memandang Sarina sebelah mata, Sarina ingin orang lain menganggapnya seperti teman biasa saja.

Rintik hujan mulai turun, Sarina membuka payung transparan untuk melindungi dirinya supaya tidak kehujanan. Angin semakin kencang dan dingin, menusuk kulit Sarina yang lembut. Apa bus tidak akan datang? Mungkin Sarina harus menunggu hujan mereda. Tangannya bergerak memeluk dirinya sendiri dan mengusapnya untuk melindungi dari angin dingin, "Sarina, pulang yuk."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 11, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Indah Walau GelapTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang