Part 1 - Her

51 7 8
                                    

"Stop! Berhenti! Jangan sentuh aku! Lepas!"

"Tenang Hannah! Tidak ada yang akan menyakitimu, Sayang!"

"Liar! They're hurting me. I'm not crazy!"

"Maaf, Nak. Mereka tidak bermaksud menyakitimu. Kemarilah! Kita ke kamarmu, ya? Bunda akan menyuruh mereka meninggalkanmu, ya?"

"Tidak! Bohong! Aku tidak percaya padamu!"

"Hannah!"

Ian sedari tadi menyaksikan keributan itu. Ia melihat seorang perempuan berambut coklat yang meronta dari dua orang pria yang memeganginya. Belum lagi perempuan paruh baya yang berusaha membujuk perempuan berambut coklat untuk tenang. Ia bisa melihat geraman frustrasi saat perempuan itu meronta meminta dilepas. Tatapan nyalangnya ia edarkan dari kedua orang yang memeganginya lalu pada wanita paruh baya yang berusaha menenangkannya.

Sayangnya bukannya tenang, perempuan yang sepertinya bernama Hannah itu justru menyentak kasar dua orang yang memeganginya kemudian berlari kencang. Sepenuhnya abai akan teriakan wanita paruh baya yang memanggilnya khawatir.

Dan Ian tidak tahu bagaimana caranya, tapi kakinya mengikuti arah perempuan itu pergi.

***

"Kau pintar bersembunyi."

Tatapan defensif langsung Hannah berikan ketika ia menemukan seorang pria bermata biru kini berdiri di sebelahnya. Senyuman kecil pria itu berikan untuknya.

"Mereka tidak pernah menemukanmu di sini?" pria itu kembali bertanya. Hannah masih menatap penuh waspada.

"I'm Ian by the way. Dan kamu Hannah, aku mendengar Bunda menyebut namamu tadi."

"Pergi!"

"Easy! I'm not here to bring you to them. Kamu tidak ingin ditemukan dan aku tidak ingin membantu mereka menemukanmu."

"Lalu kenapa di sini?"

"That's my secret" jawab Ian sembari tersenyum. Ia memperhatikan Hannah yang memilih membuang mukanya. Tapi meski begitu, otaknya sudah berhasil memotret sosok Hannah dalam benaknya.

Perempuan berambut coklat itu memiliki kantung mata hitam yang sangat kentara. Iris coklatnya tidak berpendar. Mata bengkak seperti habis menangis.Sekali lihat, orang bisa menerka bahwa Hannah melewati masa berat dalam hidupnya. Tubuh kurusnya juga salah satu bukti bahwa ia tidak menikmati hidupnya.

Meski begitu, Ian akui bahwa Hannah memiliki paras cantik. Di balik muka pucat dan tidak bercahayanya, Ian akui Hannah termasuk dalam kategori perempuan cantik. Setidaknya itu pandangan subyektifnya.

Ian membiarkan kebisuan menguasai mereka. Ketika tadi kakinya beranjak untuk mencari Hannah ia tidak berniat untuk mencampuri. Ia hanya penasaran akan sosok itu.

Dan di sinilah mereka. Dua manusia berbeda jenis yang duduk diam memandang danau kecil yang penuh daun berguguran. Pikiran keduanya tidak dalam sinergi yang sama. Tapi Ian tidak peduli. Ia akan menemani Hannah sampai perempuan itu lelah dan beranjak. Atau sampai orang-orang yang tadi mencari menemukannya.

Hari berganti, dan kegiatan yang keduanya lakukan masih sama. Jika Ian tengah berkunjung dan tak menemukan Hannah maka ia akan menyusul ke sana. Hannah perlahan menerima keberadaan Ian yang hanya sekedar duduk di sampingnya.

Danau kecil itu menjadi semacam tempat persembunyian mereka.

Tidak butuh kebisingan atau bahkan sekedar kata-kata. They enjoy the silence between them.

***

Entah sudah berapa kali pemandangan itu Ian lihat. Teriakan histeris Hannah layaknya orang tidak waras. Tapi nyatanya Ian tak pernah menganggapnya gila. Hannah hanya tinggal di yayasan ini, bukan gila.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 15, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

At My Weakest (Short Story)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang