3. Rio Jiwa Ariya

2.6K 154 8
                                    

If Ever I was Running, it was Towards You 

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

If Ever I was Running, it was Towards You 

–Jenifer Elisabeth-

"Riiiiiiooooooooo!!!"

Rio ketakutan.

Bocah itu memeluk lututnya erat. Bahunya gemetar hebat karena ngeri, jantungnya berdegup cepat melebihi kecepatan normal. Engah napas yang memburu membuatnya kesulitan untuk tidak bersuara. Rio menangis saking takutnya. Celananya basah oleh air seni.

Keberadaannya di sini adalah akibat dari paksaan ayahnya. Rio tidak pernah ingin menimba ilmu di sekolah asrama pria berbasis pendidikan militer seperti Tunas Harapan Bangsa. Sejak mengenyam pendidikan di THB, Rio jadi benci pagi hari sebab setiap siswa diwajibkan bangun subuh untuk latihan fisik sebelum memulai mata pelajaran akademis. Setiap awal hari adalah mimpi buruk bagi masa remaja Rio.

Hampir semua pria di keluarganya bersekolah di Sekolah Pria Tunas Harapan Bangsa, sebuah sekolah khusus anak laki-laki yang menyediakan asrama. Asrama itu lebih menyerupai penjara bagi Rio, terdapat tradisi senioritas seperti layaknya sekolah asrama pria yang lain. Anak tingkat pertama akan ditidurkan dalam barak berisi 20 orang, setiap dari mereka hanya diperlengkapi dengan sebuah nakas dan lemari pakaian kecil setinggi 45cm. Hari-hari berat sebagai junior harus dialaminya setiap hari, seperti membersihkan toilet bergantian setiap sore, menyiapkan makanan secara berkelompok setiap Sabtu pagi, jika beruntung, terpilih menjadi bulan-bulanan para senior.

Dia sudah meninggalkan masa suram itu, meski kenangan buruk tidak pernah meninggalkannya. Wajahnya yang manis dan tubuhnya yang mungil menjadikannya sasaran empuk kejahilan para senior. Pukulan, tendangan, bahkan berbagai pelecehan sudah pernah dia alami. Sekali mengadu ke guru justru membuatnya semakin tertindas.

"Kamu harus kuat! Kalau nggak mau jadi banci!"

Kalimat keji ayahnya itu terngiang terus di kepalanya, membuat gendang telinganya nyeri.

Rio Jiwa Ariya adalah putra bungsu dari empat bersaudara. Sampai usia kandungan ibunya berumur tujuh bulan, dokter obgyn menyatakan jenis kelaminnya perempuan. Pada pemeriksaan kesekian, dokter itu menemukan penis di antara paha mungilnya dan ia terlahir laki-laki.

Bukan salahnya terlahir laki-laki. Bukan salahnya memiliki rambut halus berkilau seindah rambut anak perempuan. Bukan pula ia yang menghendaki lahir dengan wajah halus seperti batu pualam, mata indah yang dinaungi lentik bulu mata, sepasang kaki yang bersih tanpa bulu, atau ukuran bahu yang terlalu sempit untuk ukuran anak laki-laki. Dengan suara halus dan perangai yang lembut, hati yang pengasih, serta air mata yang begitu mudah mengalir.

"Memasak? Menari? Kamu gila!" pekik Ayahnya suatu malam pada masa Rio menginjak bangku SMP. Jauh sebelum ia mengenyam pendidikan di asrama.

Rio meringis saat tangan besar sang ayah meraih serumpun rambutnya untuk dihentakkan sembarangan. Air mata sudah membayang di pelupuk mata Rio kecil.

SennaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang