Laras Sukma Rahardi. Gadis berparas ayu khas perempuan Indonesia itu selalu memesan segelas latte macchiato dingin setiap kali berkunjung. Namanya kuketahui setelah menanyakan pada barista—Bima Gerald Jensen yang tak lain juga sepupu dari pihak Papaku, sekaligus owner di coffee shop (Treasure) yang menjadi tempat langganku dan sahabatku Ferdinand Thomas Zachary. Aku dan 'Tom—begitu aku memanggilnya,' selalu menghabiskan waktu senggang yang kami punya di coffee shop "Treasure" yang terletak tepat di seberang gedung kantorku. Aku dengan matcha latte-ku, sedangkan Thomas duduk disampingku dan tak pernah berganti dari caffè latte-nya.
Kembali lagi pada sosok Laras, alasanku memperhatikan gadis itu bukan karena aku tertarik padanya atau alasan lain yang mengacu pada romansa. Karena sejauh yang kuingat, aku masih menyukai lawan jenis dan tidak tertarik untuk bersentuhan dengan hubungan 'LGBT', meski demikian aku tidak menghakimi mereka yang terlibat di dalamnya karena itu semua bukanlah urusanku. Alasanku memperhatikannya karena aku melihat sosok diriku yang dulu, tercermin di kedua matanya yang diam-diam melihat ke arah Thomas.
"... to the earth. Olivia Rosella Jensen back to the earth!" seru Thomas, tangannya tak berhenti bergerak kiri dan kanan tepat di hadapanku.
"Kenapa?" tanyaku, mengalihkan pandanganku sepenuhnya dari sosok Laras.
"Aku berbicara panjang-lebar dan kamu tidak mendengarkanku, Rose? For god sake!" gerutu Thomas.
"Tom, kamu tinggal mengulang kembali apa yang kamu ucapkan tadi dan semuanya akan beres." balasku santai.
Thomas melotot setelah mendengar tanggapanku yang terdengar sangat enteng.
"Kiss me!" tukasnya, alih-alih mengulang ucapannya.
Sebelah alisku terangkat, memandangnya dengan tatapan 'kamu-sudah-tidak waras?'
"Tidak akan ada yang protes pada laki-laki yang meminta ciuman dari kekasihnya." ujar Thomas kala diriku tak kunjung melakukan pintanya.
Dasar bodoh! Tidak akan ada yang protes yang akan ada hanyalah sosok gadis patah hati karena melihat lelaki yang disukainya dicium oleh gadis lain. rutukku dalam hati.
"Aku melakukan apa yang ingin kulakukan, bukan apa yang kau inginkan, Thomas." ujarku dengan tatapan tidak ingin dibantah. Sudut mataku menangkap sosok Laras yang masih berpura-pura fokus pada majalah yang dipegangnya sementara matanya tak henti mengintip dari balik majalah tersebut.
Aku baru saja meletakkan kembali cangkir matcha latte-ku ketika tiba-tiba Thomas mendekatkan wajahnya dan dengan gerakan cepat bibirnya menghisap bagian atas bibirku yang langsung saja kuhadiahkan jitakan di kepalanya. Thomas hanya menyeringai puas setelah mencuri ciuman dengan kedok menghapus jejak foam matcha latte-ku. Terdengar suara ribut di depan sana, majalah yang terjatuh mengenai gelas latte macchiato dan jeritan tertahan dari sosok Laras yang saat ini tampak kacau, terkejut, sedih dan berbagai campuran emosi lainnya. Keributan itu bahkan tak berhasil menciptakan reaksi dari Thomas yang masih saja mengusap kepalanya yang terkena jitakanku sambil sesekali bersungut memprotesku.
"Laras, apakah ada yang terluka?" tanya Bima khawatir.
"A-aku, aku baik-baik saja." balas Laras tergagap.
"Ayo ikut saya ke belakang." ajak Bima dan tanpa menunggu persetujuan dari Laras, mereka berjalan memasuki pintu khusus wilayah pekerja Treasure.
"Rose sayang, kamu memperhatikan apa hingga mengabaikanku untuk yang kedua kalinya." ujar Thomas, kali ini dia meraih pipiku dengan kedua tangannya sehingga aku kembali bertatapan dengannya.
"Tom, aku ingin kamu menjawab pertanyaanku. Jika ada seorang gadis yang terluka sama seperti diriku dulu dan sangat butuh disembuhkan. Apakah kamu akan merengkuh dan menyembuhkannya seperti yang kau lakukan padaku?" tanyaku
Thomas menghentikan gerakan jemarinya yang sedari tadi mengelus pipiku, kemudian menatap lekat tepat di kedua mataku.
"I'm not a super hero who help and keep safe everybody, I'm not even a perfect man. I'm just a selfish man who want to be everything you need, a best friend, a brother, and a lover. I'm saving you for saving myself, when you're hurt so I am. Don't ever think about anyone else but me, because they all are nothing. I'm your everything, and you're my everything Rose."
Begitu saja dan bibir Thomas memagut bibirku perlahan, ia selalu berhasil mengenyahkan segala keraguan dan kegelisahanku. Aku tak lagi mempedulikan keadaan sekitarku, toh di pandangan mereka kami hanyalah sepasang bule yang bermesraan di khalayak publik tanpa rasa canggung ataupun malu.
"I love you, Thomas." bisikku di atas bibirnya.
"I love you, My Rose."
-Olivia Rosella Jensen point of view end-
KAMU SEDANG MEMBACA
Latte Macchiato (END)
Short StoryTegukan pada secangkir latte machiatto kesukaannya terhenti, sosokmu yang memandangku dengan penuh perhatian. Aku yang memperhatikannya dengan jelas, bagaimana sosoknya yang melihat ke arahmu dengan padangan serupa kala dirimu memandangku.